Makalah Sistem Pemilu

SISTEM PEMILU

Makalah Sistem Pemilu

 




DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
ADE PUTRA ALGONI
QOLBIYAH WULANDARI
RIRIN ARYANTI
DESI NATALYA TAMPUBOLON
PUJI SUKRI


DOSEN PENGASUH : JOKO SUSANTO,S.Sos.M.A
                                            

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI SETIH SETIO
TAHUN 2016


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang dimana makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Pengantar Ilmu Politik” oleh dosen pengasuh yakni Bapak Joko Susanto,S.Sos.M.A
Dalam pembuatan makalah ini, penulis banyak mengalami hambatan-hambatan seperti kurangnya buku-buku referensi sebagai penunjang kesempurnaan isi dari makalah ini. Namun penulis berusaha semampunya untuk mensukseskan isi dari makalah ini agar dapat menjadi pelajaran bagi penulis maupun bagi para pembaca.
Penulis menyadari makalah ini belum layak dikatakan sempurna karena masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar penulis dapat membentuk sebuah makalah lain yang jauh lebih baik tentunya. Semoga makalah ini mendapatkan hasil yang memuaskan bagi penulis maupun bagi para pembaca.

Penulis
Muara Bungo,  Oktober 2016













DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... .... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... .... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... .... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang...........................................................................................   1
1.2  Rumusan Masalah......................................................................................   1
1.3  Tujuan Penulisan.......................................................................................   2
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Sistem Pemilihan Umum..........................................................   3
2.2  Macam-Macam Sistem Pemilihan Umum..................................................   3
2.3  bagaimana Pengaturan Pemilu Dalam Uud 1945.......................................   12
2.4  Sistem Pemilu Yang Pernah Berlaku Di Indonesia....................................   12
BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan.................................................................................................. 22
3.2  Saran..........................................................................................................   22
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pemilihan Umum adalah suatu kegiatan politik yang sangat menarik di lingkungan sosial . Pemilihan Umum merupakan salah satu alat dan sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada demokrasi perwakilan di negara. Pemilihan umum juga dapat dirumuskan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada seseorang calon atau partai yang dipercayai melalui perolehan suara dari masyarakat . Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif atau parlemen. Tetapi , ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Singkatnya  sistem pemilihan ini berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi.
Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi rekrutmen dalam sistem politik. Mengenai sistem pemilu Norris menjelaskan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem pemilu yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya daya tarik yang tinggi di mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak artis (sinetron, lawak, penyanyi) yang tertarik untuk bergabung ke dalam sebuah partai politik.

    Setiap sistem pemilu, yang biasanya diatur dalam peraturan perundang – undangan setidak – tidaknya mengandung  tiga variabel pokok, yaitu penyuaran, distrik pemilihan, dan formula pemilihan. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang – Undang Pemilu, tujuan dari sistem pemilu adalah melaksanakan kedaulatan Rakyat (Ps. 1 ayat 1) dan membentuk pemerintahan perwakilan (Pasal 1 ayat 3 dan 4 ). Suatu ketentuan yang sejalan dengan prinsip demokrasi universal. Akan tetapi di dalam pengoperasiannya, penguasa menjuruskan tujuan tersebut untuk membangun


legitimasi bagi suatu pemerintah yang stabil dan kuat melalui mobilisasi politik. Maka operasi pemilu secara demokratis yakni menyeimbangkan tujuan operasional tersebut dengan penggunaanya sebagai alat perjuangan kepentingan rakyat melalui pertisipasi politik dan sosialisasi politik, menjadi terabaikan alam.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan sistem pemilu Indonesia?
2.      Bagaimana pengaturan pemilu dalam UUD 1945 ?
3.      Apa saja sistem pemilu yang berlaku di Indonesia ?

1.3 Tujuan
1.      Untuk memenuhi kewajiban penulis dalam menyelesaikan tugas Sistem Pemilu Indonesia.
2.      Untuk mengetahui bagimana sistem pemilu.
3.      Untuk menambah wawasan baik penulis maupun pembaca mengenai sistem pemilu di Indonesia.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PENGERTIAN SISTEM PEMILU
             Pemilihan umum merupakan sarana , alat atau mediasi untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung , umum , bebas , rahsia , jujur , dan adil dalam NKRI berdasarkan pancasila dan UUD1945 . Pemilu harus di laksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung , umum , bebas , rahasia , jujur dan adil .
2.2  MACAM-MACAM SISTEM PEMILU
A.    SISTEM PEMILU DISTRIK
Dalam sistem Distrik, jumlah penduduk di suatu wilayah akan sangat berpengaruh terhadap wakilnya. Karena di sistem Distrik, daerah pemilihannya berbasis pada jumlah penduduk. Lalu dalam sistem ini pula daerah pemilihannya cenderung kecil karena hanya berupa distrik. Sehingga, jumlah daerah pemilihan akan sangat banyak, terutama jika diterapkan di negara yang wilayahnya sangat luas. Lalu, seorang caleg yang akan mewakili daerahnya haruslah berasal dan berdomisili di daerah pemilihan tersebut. Jika ada caleg yang berasal dari luar daerah akan cukup sulit untuk mendapatkan suara, karena masyarakat kurang mengenalnya. Jadi, seorang caleg haruslah memiliki kualitas dan tingkat kepopuleran yang cukup tinggi. Dalam sistem ini cenderung mengarah pada sistem disentralisasi karena wakilnya sangat loyal kepada partai maupun pemilihnya.

a)      Varian Sistem Pemilu Distrik

1.      First Past The Post
Sistem ini ditujukan demi mendekatkan hubungan antara calon legislatif dengan pemilih. Kedekatan ini akibat daerah pemilihan yang relatif kecil (distrik). Sebab itu, First Past The Post kerap disebut sistem pemilu distrik. Wilayah distrik kira-kira sama dengan satu kota (misalnya: Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bogor, dan sejenisnya). Kecilnya wilayah yang diwakili, membuat warga kota mengenal siapa calon legislatifnya.


Jika sang calon legislatif menang pemilu, maka warga kota mudah melihat kinerjanya.

2.      Block Vote

Sistem ini adalah penerapan pluralitas suara dalam distrik dengan lebih dari 1 wakil. Pemilih punya banyak suara sebanding dengan kursi yang harus dipenuhi di distriknya, juga mereka bebas memilih calon terlepas dari afiliasi partai politiknya. Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih sendiri. Block Vote biasa digunakan di negara dengan partai politik yang lemah atau tidak ada. Tahun 2004, Kepulauan Cayman, Kepulauan Falkland, Guernsey, Kuwait, Laos, Libanon, Maldives, Palestina, Suriah, Tonga, dan Tuvalu menggunakan sistem pemilu ini. Sistem ini juga pernah digunakan di Yordania (1989) Mongolia (1992), dan Filipina serta Thailand hingga tahun 1997.

3.      Two Round System

Two Round System (TRS) adalah sistem mayoritas/pluralitas di mana proses pemilu tahap 2 akan diadakan jika pemilu tahap 1 tidak ada yang memperoleh suara mayoritas yang ditentukan sebelumnya (50% + 1). TRS menggunakan sistem yang sama dengan FPTP (satu distrik satu wakil) atau seperti BV/PBV (satu distrik banyak wakil). Dalam TRS, calon atau partai yang menerima proporsi suara tertentu memenangkan pemilu, tanpa harus diadakan putaran ke-2. Putaran ke-2 hanya diadakan jika suara yang diperoleh pemenang tidak mayoritas. Jika diadakan putaran kedua, maka sistem TRS ini bervariasi. Sistem yang umum adalah, mereka yang ikut serta adalah calon-calon dengan suara terbanyak pertama dan kedua putaran pertama. Ini disebut majority run-off, dan akan menghasilkan suara mayoritas bulat (50%+1). Sistem lainnya diterapkan di Perancis, dimana dalam putaran kedua, calon yang boleh ikut adalah yang memperoleh lebih dari 12,5% suara di putaran pertama. Siapapun yang memenangkan suara terbanyak di putaran kedua, ia menang, meskipun


tidak 50% + 1 (mayoritas). Negara-negara yang menggunakan Two Round System adalah Perancis, Republik Afrika Tengah, Kongo, Gabon, Mali, Mauritania, Togo, Mesir, Haiti, Iran, Kiribati, Vietnam, Belarusia, Kyrgyztan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.

4.      Alternative Vote Alternate Vote (AV)

Sama dengan First Past The Post (FPTP) sebab dari setiap distrik dipilih satu orang wakil saja. Bedanya, dalam Alternate Vote pemilih melakukan ranking terhadap calon-calon yang ada di surat suara (ballot). Misalnya rangkin 1 bagi favoritnya, rangking 2 bagi pilihan keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketiga, dan seterusnya. Alternate Vote sebab itu memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di antara kandidat yang ada, ketimbang Cuma memilih 1 saja seperti di FPTP. Alternate Vote juga berbeda dengan FPTP dalam hal perhitungan suara. Jika FPTP ada 1 calon yang memperoleh 50% suara plus 1, maka otomatis dia memenangkan pemilu distrik. Dalam Alternate Vote, calon dengan jumlah pilihan rangking 1 yang terendah, tersingkir dari perhitungan suara. Lalu, ia kembali diuji untuk pilihan rangking 2-nya, yang jika kemudian terendah menjadi tersingkir. Setiap surat suara kemudian diperiksa hingga tinggal calon tersisa yang punya rankin tinggi dalam surat (ballot) suara. Proses ini terus diulangi hingga tinggal 1 calon yang punya suara mayoritas absolut, dan ia pun menjadi wakil distrik. Alternate Vote, sebab itu, merupakan sistem pemilu mayoritas. Sistem pemilu Alternate Vote digunakan di Fiji dan Papua Nugini.

5.      Party Block Vote.

Esensi Party Block Vote sama dengan FPTP, bedanya setiap distrik partai punya lebih dari 1 calon. Partai mencantumkan beberapa calon legislatif dalam surat suara. Pemilih Cuma punya 1 suara. Partai yang punya suara terbanyak di distrik tersebut, memenangkan pemilihan. Caleg yang tercantum di surat suara otomatis terpilih pula. Sistem ini digunakan
.         



di Kamerun, Chad, Jibouti, dan Singapura
b)     Kelemahan Dan Kelebihan Sistem Pemilu Distrik
-          First Past The Post
Kelebihannya antara lain :
·  Dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai
·  Cenderung menghasilkan pemerintahan kuat dari satu partai
·  Mendorong munculnya oposisi
·  Memungkinkan hadirnya kandidat independen
·  Sistem ini cukup sederhana serta mudah dimengeri pemilih.
Kelemahan :
·  Banyak suara terbuang
·  Menghalangi perkembangan multipartai yang plural
·  Mendorong tumbuhnya partai etnis/kesukuan.

-          Block Vote
Kelebihan sistem ini :
·  Memberikan keleluasaan bagi pemilih untuk menentukan pilihannya
·  Sistem ini juga menguntungkan partai-partai yang punya basis koherensi anggota dan organisasi yang kuat.
Kekurangannya adalah,:
·  Sistem ini bisa menunjukkan hasil yang sulit diprediksi. Misalnya, saat pemilih memberikan semua suara kepada semua calon dari satu partai yang sama, maka ini membuat kelemahan FPTP tampak: Partai atau kepentingan selain partai tersebut menjadi terabaikan.
·  Selain itu, oleh sebab setiap partai boleh mencalonkan lebih dari 1 calon, maka terdapat kompetisi internal partai dari masing-masing calon untuk memperoleh dukungan pemilih.





-          Party Block Vote
Kelebihannya adalah :
·  Mudah digunakan  
·  Menghendaki partai yang kuat
·  Memungkinkan partai-partai memilih caleg yang merepresentasikan kalangan minoritas.
Kelemahan dari Party Block Vote adalah:
·  Banyak suara yang terbuang
·  Kemungkinan adanya sejumlah kelompok minoritas yang sama sekali tidak punyak wakil di parlemen.

-          Alternative Vote
Kelebihannya adalah :
·  Memungkinkan pilihan atas sejumlah calon berakumulasi, hingga kepentingan yang berbeda tapi berhubungan dapat dikombinasi guna memperoleh perwakilan.
·  Alternative Vote juga memungkinkan pendukung tiap calon yang tipis harapan menangnya untuk tetap punya pengaruh lewat ranking ke-2 dan seterusnya. Sebab itu, Alternative Vote menghendaki tiap kandidat harus bisa menarik simpati pemilih dari luar partainya. Pemilih dari luar partainya adalahpemilih potensial, yang akan menaruh si calon di ranking ke-2 dan seterusnya.
-          Kelemahan AV adalah,:
·  Menghendaki tingkat baca-tulis huruf dan angka yang tinggi di kalangan pemilih, di samping kemampuan pemilih untuk menganalisis para calon.

-          Two Round System
Kelebihan:



·  Memungkinkan pemilih punya kesempatan kedua bagi calon yang dijagokannya sekaligus mengubah pikirannya 
·  Memungkinkan kepentingan yang beragam berkumpul di kandidat yang masuk ke putaran kedua pemilu.
Kekurangannya adalah :
·  Membuat penyelenggara Pemilu (panitia) bekerja ekstra keras jika ada putaran kedua,
·  Membuat dana pemilu membengkak
·  TRS juga dicurigai membuat fragmentasi antar partai-partai politik.


B.     SISTEM PEMILU PROPORSIONAL

Sistem Pemilu Proporsional merupakan system pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi disuatu daerah pemilihan. Dengan system ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi lebih banyak disuatu daerah pemilihan, begitupun sebaliknya. Sistem ini juga mengatur tentang proporsi antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai politik untuk kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh suatu parta politik tersebut. Dasar pemikiran Proporsional adalah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran suara pemilih bagi setiap partai menurut proporsi kursi yang ada di legislatif.
a)      Varian Sistem Pemilu Proporsional
1)      Sistem Proporsional Terbuka
Sejak Pemilu 1955 hingga 1999, pemilu di Indonesia digelar di bawah sistem proporsional tertutup (closed lists). Dengan sistem ini, pemilih hanya memilih tanda gambar partai. Suara itu jatuh untuk partai, yang kemudian didistribusikan ke daftar calon anggota legislatif (caleg) yang disusun pimpinan partai yang secara implisit berada di balik tanda gambar yang dipilih pemilih.



2)      Sistem Proporsional Tertutup
Pada Pemilu 2004 lalu, terjadi perubahan. Pemilih tidak lagi hanya memilih tanda gambar partai, tapi juga sudah boleh memilih langsung nama caleg. Daftar caleg sudah eksplisit dimuat di surat suara, agar bisa dicontreng. Undang-Undang No 12/2003 tentang Pemilu Legislatif, pada Pasal 6 Ayat (1) menyatakan “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.

b)     Kelebihan dan Kekurangan Sistem Proposional
Kelebihannya :
·  Secara konsisten mengubah setiap suara menjadi kursi yang dimenangkan, dan sebab itu menghilangkan “ketidakadilan” seperti sistem Mayoritas/Pluralitas yang “membuang” suara kalah.
·  Mewujudkan formasi calon dari partai-partai politik atau yang kelompok yang “satu ide” untuk dicantumkan di daftar calon, dan ini mengurangi perbedaan kebijakan, ideologi, atau kepemimpinan dalam masyarakat.
·  Mampu mengangkat suara yang kalah (bergantung Threshold).
·  Memfasilitasi partai-partai minoritas untuk punya wakil di parlemen.
·  Membuat partai-partai politik berkampanye di luar “basis wilayahnya.”
·  Memungkinkan tumbuh dan stabilnya kebijakan, oleh sebab Proporsional menuntun pada kesinambungan pemerintahan, partisipasi pemilih, dan penampilan ekonomi.
·  Memungkinkan partai-partai politik dan kelompok kepentingan saling berbagi kekuasaan.

Kekurangan dari sistem Proporsional adalah sebagai berikut:

·  Menyebabkan munculnya pemerintahan berdasarkan koalisi, sehingga kadang kebijakan-kebijakan menjadi tidak koheren.



·  Mampu menyebabkan fragmentasi partai-partai politik, di mana partai minoritas mampu memainkan peran besar dalam tiap koalisi yang dibuat.
·  Mampu memunculkan partai-partai ekstrim (kiri maupun kanan)
·  Sistem ini cukup rumit (terutama dalam penanggulangan “suara sisa”)

C.    SISTEM PEMILU CAMPURAN
Menggabungkan dua sistem sekaligus antara sistem distrik dan sistem proporsional. Setengah dari anggota parlemen di pilih melalui sistem distrik dan setengah lainnya lagi di pilih melalui proporsional. Ada keterwakilan sekaligus ada kesatuan geografis.

a)      Varian Sistem Pemilu Campuran
-          Mixed Member Proportional
Di bawah sistem Mixed Member Proportional, kursi sistem Proporsional dianugrahkan bagi setiap hasil yang dianggap tidak proporsional. Contohnya, jika satu partai memenangkan 10% suara secara nasional, tetapi tidak memperoleh kursi di distrik/daerah, lalu partai itu akan dianugrahkan kursi yang cukup dari daftar Proporsional guna membuat partai tersebut punya 10% kursi di legislatif. Pemilih mungkin punya 2 pilihan terpisah, sebagaimana di Jerman dan Selandia Baru. Alternatifnya, pemilih mungkin membuat hanya 1 pilihan, dengan total partai diturunkan dari total calon tiap distrik. Mixed Member Proportional digunakan di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru, dan Venezuela. Di negara-negara ini, kursi distrik dipilih menggunakan FPTP. Hungaria menggunakan TRS dan metode Italia lebih rumit lagi: seperempat kursi di majelis rendah dicadangkan untuk mengkompensasikan suara terbuang di distrik-distrik dengan satu wakil.
Meskipun Mixed Member Proportional didesain untuk hasil yang lebih proporsional, adalah mungkin terjadi ketidakproporsionalan begitu besar di distrik dengan satu wakil, sehingga kursi yang terdaftar tidak cukup untuk



mengkompensasikannya.
-          Paralel
Sistem Paralel secara berbarengan memakai sistem Proporsional dan Mayoritas/Puluralitas, tetapi tidak seperti MMP, komponen Proporsional tidak mengkompensasikan sisa suara bagi distrik yang menggunakan Mayoritas/Pluralitas. Pada sistem Paralel, seperti juga pada MMP, setiap pemilih mungkin menerima hanya satu surat suara yang digunakan untuk memilih calon ataupun partai (Korea Selatan) atau surat suara terpisah, satu untuk kursi Mayoritas/Pluralitas dan satunya untuk kursi Proporsional (Jepang, Lithuania, dan Thailand). Sistem paralel kini dipakai 21 negara. Armenia, Conakry, Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Russia, Eychelles, Thailand, Timor Leste dan Ukraina menggunakan FPTP satu distrik satu wakil bersama dengan komponen Proporsional Daftar, sementara Azerbaijan, Georgia, Kazakhstan, Lithuania, dan Tajikista menggunakan Two Round System untuk distrik satu wakil untuk sistemnya.

b)     Kelebihan dan Kekurangan Sistem Campuran
Kelebihan Sistem Campuran:
Dalam hal ketidakproporsionalan, sistem ini memberikan hasil antara Mayoritas/Pluralitas murni dan Proporsional murni. Satu keuntungannya adalah, tatkala cukup kursi Proporsional, partai kecil minoritas yang kurang sukses di pemilihan Mayoritas/Pluralitas tetap dianugerahi kursi melalui sistem Proporsional atas setiap suara yang diperoleh.
Sebagai tambahan, sistem Paralel secara teoretis, kurang menciptakan fragmentasi partai ketimbang sistem pemilihan murni Proporsional.
Kelemahannya adalah:
Sebagaimana terjadi dengan Mixed Member Proportional, akan menciptakan dua kategori wakil rakyat.Sistem ini tidak menjamin keproporsionalan. Sejumlah partai kemungkinan akan tetap kehilangan representasi kendatipun memenangkan jumlah suara secara substansial.



Sistem Paralel juga relatif rumit dan membuat pemilih bingung sebagaimanan ini juga menimpa para panitianya.

2.3BAGAIMANA PENGATURAN PEMILU DALAM UUD 1945
Pengaturan Pemilu Dalam UUD 1945 sebagai berikut :
-          Pasal 18 ayat 3  pemerintahan daerah provinsi , daerah , kabupaten , dan kota memiliki DPRD yang anggota anggota nya dipilih melalui pemilu .
-          Pasal 19 ayat 1 anggota DPR dipilih melalui pemilu
-          Pasal 22 C Ayat 1 anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu. Ayat 2 jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga anggota dpd itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
-          Pasal 22 E Pemilu.
-          Pemilu Dalam UU No.10 Tahun 2008
   Tahapan penyelenggaraan pemilu meliputi :
a)      Pemutakhiran Data Pemilih Dan Penyusunan Daftar Pemilih
b)      Pendaftaran Peserta Pemilu
c)      Penetapan Peserta Pemilu
d)      Penetapan Jumlah Kursi Dan Penetapan Daerah Pemilihan
e)      Pencalonan Anggota DPRD, DPD, DPRD PROVINSI, DAN DPRD Kabupaten/Kota.
f)       Masa Kampanye
g)      Masa Tenang
h)      Pemungutan Dan Penghitungan Suara
i)        Penetapan Hasil Pemilu
j)       Pengucapan Sumpah/Janji Anggota DPR, DPRD, DPRD Provinsi , Dan DPRD Kabupaten/Kota.

2.4 SISTEM PEMILU YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
Pemilu 1955
            Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan oleh Republik Indonesia. Pemilu ini merupakan reaksi atas Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3 Nopember 1945 dari Wakil Presiden Moh. Hatta, yang menginstruksikan pendirian partai-partai politik di Indonesia. Pemilu pun – menurut Maklumat – harus diadakan


secepat mungkin. Namun, akibat belum siapnya aturan perundangan dan logistik (juga kericuhan politik dalam negeri seperti pemberontakan), Pemilu tersebut baru diadakan tahun 1955 dari awalnya direncanakan Januari 1946.
            Landasan hukum Pemilu 1955 adalah Undan-undang Nomor 7 tahun 1953 yang diundangkan 4 April 1953. Dalam UU tersebut, Pemilu 1955 bertujuan memilih anggota bikameral: Anggota DPR dan Konstituante (seperti MPR). Sistem yang digunakan adalahproporsional. Menurut UU nomor 7 tahun 1953 tersebut, terdapat perbedaan sistem bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk anggota konstituante dan anggota parlemen. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
-          Jumlah anggota konstituante adalah hasil bagi antara total jumlah penduduk Indonesia dengan 150.000 dibulatkan ke atas;
-          Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 150.000; Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat hasil pembagian tersebut; Jika kurang dari 6, dibulatkan menjadi 6; Sisa jumlah anggota konstituante dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;
-          Jika dengan cara poin ke dua di atas belum mencapai jumlah anggota konstituante seperti di poin ke satu, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan yang memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat jaminan 6 kursi itu
-          Penetapan jumlah anggota DPR seluruh Indonesia adalah total jumlah penduduk Indonesia dibagi 300.000 dan dibulatkan ke atas;
-          Jumlah anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 300.000; Jumlah anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat hasil pembagian tersebut; Jika kurang dari 3, dibulatkan menjadi 3; Sisa jumlah anggota DPR dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;
-          Jika dengan cara poin ke lima di atas belum mencapai jumlah anggota DPR seperti di poin ke empat, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat jaminan 3 kursi itu



            Pemilu 1955, sebab itu, ada dua putaran. Pertama untuk memilih anggota DPR pada tanggal 29 September 1955.[4] Kedua untuk memilih anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955. Pemilu untuk memilih anggota DPR diikuti 118 parpol atau gabungan atau perseorangan dengan total suara 43.104.464 dengan 37.785.299 suara sah. Sementara itu, untuk pemilihan anggota Konstituante, jumlah suara sah meningkat menjadi 37.837.105 suara.
Pemilu 1971
            Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu ditujukan memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden.
            Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia.[5] Rakyat pemilih mencoblos tanda gambar partai. Untuk memilih anggota DPR daerah pemilihannya adalah Daerah Tingkat I (provinsi) dan sekurang-kurangnya 400.000 penduduk memiliki satu orang wakil dengan memperhatikan bahwa setiap provinsi minimal memiliki wakil minimal sejumlah daerah tingkat II (kabupaten/kota) di wilayahnya. Setiap daerah tingkat II minimal punya satu orang wakil.
            Dalam Pemilu 1971, total pemilih terdaftar adalah 58.179.245 orang dengan suara sah mencapai 54.699.509 atau 94% total suara.[6] Dari total 460 orang anggota parlemen yang diangkat presiden, 75 orang berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari golongan fungsional seperti tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25 anggota golongan fungsional kemudian bergabung dengan Sekber Golkar sehingga kursi Golkarmeroket hingga ke angka 257 (dari 232 ditambah 25). Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah anggota berjenis kelamin laki-laki 426 dan perempuan 34 orang.

Pemilu 1977
            Dasar hukum Pemilu 1977 adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1975.[7] Pemilu ini diadakan setelah fusi partai politik dilakukan pada tahun 1973. Sistem yang


digunakan pada pemilu 1977 serupa dengan pada pemilu 1971 yaitu sistem proporsional dengan daftar tertutup. Pemilu 1977 diadakan secara serentak tanggal 2 Mei 1977. Pemilu 1977 ditujukan guna memiliki parlemen unicameral yaitu DPR di mana 360 orang dipilih lewat pemilu ini sementara 100 orang lainnya diangkat oleh Presiden Suharto.
            Persyaratan untuk ikut serta sebagai pemilih adalah berusia sekurangnya 17 tahun atau pernah menikah, kecuali mereka yang menderita kegilaan, eks PKI ataupun organisasi yang berkorelasi dengannya, juga narapidana yang terkena pidana kurung minimal 5 tahun tidak diperbolehkan ikut serta. Sementara itu, kandidat yang boleh mencalonkan diri sekurang berusia 21 tahun, lancar berbahasa Indonesia, mampu baca-tulis latin, sekurangnya lulusan SMA atau sederajat, serta loyal kepada Pancasila sebagai ideologi negara. Votingdilakukan di 26 provinsi dengan sistem proporsional daftar partai (party list system).
            Jumlah pemilih yang terdaftar 70.662.155 orang sementara yang menggunakan hak pilihnya 63.998.344 orang atau meliputi 90,56%. Sekber Golkar beroleh suara 39.750.096 (62,11%) dan memperoleh 232 kursi. PPP beroleh suara 18.743.491 (29,29%) dan memperoleh 99 kursi. PDI beroleh 5.504.757 suara (8,60%) dan memperoleh 29 kursi. Sementara itu, kursi jatah ABRI adalah 75 kursi dan golongan fungsional 25 kursi. Golongan fungsional lalu menggabungkan diri ke dalam sekber Golkar sehingga kursi untuk Golkar bertambah menjadi 257 kursi. Anggota parlemen laki-laki 426 orang sementara perempuan 34 orang (7,40%).

Pemilu 1982
            Pemilu 1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti Pemilu 1977 di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1980.
            Voting dilakukan di 27 daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional dengan Daftar Partai (Party-List System). Partai yang beroleh kursi berdasarkan pembagian total suara yang didapat di masing-masing wilayah pemilihan dibagi electoral quotient di masing-masing wilayah. Jumlah total pemilih terdaftar adalah 82.132.263 orang dengan jumlah suara sah mencapai 74.930.875 atau 91,23%. Golkar


beroleh 48.334.724 suara (58,44%) sehingga berhak untuk mendapat 246 kursi parlemen. PPP beroleh 20.871.880 suara (25,54%) sehingga berhak untuk mendapat 94 kursi parlemen. PDI beroleh 5.919.702 suara (7,24%) sehingga berhak mendapat 24 kursi parlemen. Anggota DPR yang diangkat Presiden Suharto berasal dari ABRI sejumlah 75 orang dan golongan fungsional sebanyak 21 orang. Golongan fungsional lalu bergabung dengan Golkar sehingga kursi parlemen Golkar naik menjadi 267 kursi.[10] Dari 360 anggota parlemen, yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 422 dan perempuan 38 orang.

Pemilu 1987
            Pemilu 1987 diadakan tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu Proporsional dengan varian Party-List.

            Total pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara sah mencapai 85.869.816 atau 91,30%.[11] Golkar beroleh 62.783.680 suara (73,16%) sehingga berhak atas 299 kursi parlemen. PPP beroleh 13.701.428 suara (15,97%) sehingga berhak atas 61 kursi parlemen. PDI beroleh 9.384.708 suara (10,87%) sehingga berhak atas 40 kursi parlemen. Jumlah anggota parlemen dari ABRI yang diangkat Presiden Suharto berjumlah 75 orang (kursi) sementara dari golongan fungsional 25 orang (kursi).  Jumlah anggota parlemen yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 sementara yang perempuan 57 orang. Sementara itu, jumlah anggota parlemen berusia 21-30 tahun adalah 5 orang, 31-40 tahun 38 orang, 41-50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213 orang, 61-70 tahun 70 orang, dan 71-80 tahun 1 orang.

Pemilu 1992
            Pemilu 1992 diadakan tanggal 9 Juni 1992 dengan dasar hukum Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan varian Party-List. Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung 400 kursi DPR. Total pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang dengan total suara sah adalah 97.789.534.[12]  Untuk hasil Pemilu 1992, Golkar beroleh 66.599.331 suara (68,10%)


sehingga berhak atas 282 kursi parlemen. PPP beroleh 16.624.647 suara (17,01%) sehingga berhak atas 62 kursi parlemen. PDI beroleh 14.565.556 suara (10,87%) sehingga berhak atas 56 kursi parlemen. Presiden Suharto mengangkat 75 orang (kursi) untuk ABRI dan 25 orang (kursi) untuk golongan fungsional.Komposisi anggota DPR totalnya adalah 500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin laki-laki adalah 439 orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain, kisaran usia anggota DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun 144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.

Pemilu 1997
            Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini adalah memilih 424 orang anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi parlemen.[13] Hasil Pemilu 1997 adalah Golkar beroleh 84.187.907 suara (74,51%) sehingga berhak atas 325 kursi parlemen. PPP beroleh 25.340.028 suara (22,43%) sehingga berhak atas 89 kursi parlemen. PDI beroleh 3.463.225 suara (3,06%) sehingga berhak atas 11 kursi parlemen. Anggota parlemen yang diangkat Presiden Suharto hanya dari ABRI saja yaitu 75 orang (kursi). Total anggota parlemen 500 orang.
            Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa oleh sebab kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan. Sementara itu, PDI mengalami penurunan suara signifikan akibat intervensi pemerintah terhadap kepemimpinan partai. Megawati Sukarnoputri dihabisi secara politik dengan cara pemerintah mendukung pimpinan tandingan Suryadi dan Fatimah Ahmad.
            Dari 500 anggota DPR, yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang sementara perempuan adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang berusia 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134 orang; 51-65 orang 310 orang; dan di atas 65 tahun 2 orang.




Pemilu 1999
            Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto. Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar, PPP, dan PDI.
            Sebelum menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan tiga rancangan undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya pemilu 1999, yaitu RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim Tujuh yang diketuai Profesor Ryaas Rasyid dariInstitut Ilmu Pemerintahan. Setelah disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan. Pemilu 1999 diadakan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Sesuai pasal 1 ayat (7) pemilu 1999 dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar dengan varian Roget.
            Dalam pemilihan anggota DPR, daerah pemilihannya (selanjutnya disingkat Dapil) adalah Dati I (provinsi), pemilihan anggota DPRD I dapilnya Dati I (provinsi) yang merupakan satu daerah pemilihan, sementara pemilihan anggota DPRD II dapilnya Dati II yang merupakan satu daerah pemilihan. Jumlah kursi anggota DPR untuk tiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk Dati I dengan memperhatikan bahwa Dati II minimal harus mendapat 1 kursi yang penetapannya dilakukan oleh KPU.
            Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 juga menggariskan bahwa jumlah kursi DPRD I minimal 45 dan maksimal 100 kursi. Jumlah kursi tersebut ditentukan oleh besaran penduduk. Provinsi dengan jumlah penduduk hingga 3.000.000 jiwa mendapat 45 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.001 – 7.000.000 mendapat 55 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.001 – 7.000.000 mendapat 65 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.001 – 9.000.000 mendapat 75 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.001 – 12.000.000 mendapat 85 kursi. Sementara itu, provinsi dengan jumlah penduduk di atas 12.000.000 mendapat 100 kursi.
            Undang-undang juga mengamanatkan bahwa untuk Dati II (kabupaten/kota) minimal mendapat 1 kursi untuk anggota DPRD I lewat penetapan KPU. Dati II berpenduduk hingga 100.000 mendapat 20 kursi. Dati II berpenduduk 100.001 –


200.000 mendapat 25 kursi. Dati II berpenduduk 200.001 – 300.000 mendapat 30 kursi. Dati II berpenduduk 300.001 – 400.000 mendapat 35 kursi. Dati II berpenduduk 400.001 – 500.000 mendapat 40 kursi. Sementara itu, untuk Dati II berpenduduk di atas 500.000 mendapat 45 kursi. Setiap kecamatan minimal harus diwakili oleh 1 kursi di DPRD II. KPU adalah pihak yang memutuskan penetapan perolehan jumlah kursi.
            Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai. Pemilu 1999 diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami hambatan dalam proses perhitungan suara. Terdapat 27 partai politik yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999 yaitu: Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, dan PARI.
            Karena penolakan 27 partai politik ini, KPU menyerahkan keputusan kepada Presiden. Presiden menyerahkan kembali penyelesaian persoalan kepada Panitia Pengawas Pemilu (selanjutnya disingkat Panwaslu. Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil Pemilu 1999 sudah sah, ditambah kenyataan partai-partai yang menolak menandatangani hasil tidak menyertakan point-point spesifik keberatan mereka. Sebab itu, Presiden lalu memutuskan bahwa hasil Pemilu 1999 sah dan masyarakat mengetahui hasilnya tanggal 26 Juli 1999.

            Masalah selanjutnya adalah pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan adalahProporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul adalah pembagian kursi sisa. Partai-partai beraliran Islam melakukan stembus-accord (penggabungan sisa suara) menurut hitungan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) hanya beroleh 40 dari 120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran Islam yang melakukan stembus-accord tersebut mengklaim mampu memperoleh 53 dari 120 kursi sisa.
            Perbedaan pendapat ini lalu diserahkan PPI kepada KPU. KPU, di depan seluruh partai politik peserta pemilu 1999 menyarankan voting. Voting ini terdiri atas dua opsi. Pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus-accord. Kedua, pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 suara mendukung opsi pertama, dan 43 suara mendukung opsi kedua. Lebih dari 8 partai melakukan walk-out. Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa stembus-


accord. Penyelesaian sengketa hasil pemilu dan perhitungan suara ini masih dilakukan oleh badan-badan penyelenggara pemilu karena Mahkamah Konstitusi belum lagi terbentuk.
            Total jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau meliputi 9,17% suara sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan sistem pemilihan Proporsional dengan Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai yang  punya sisa suara terbesar).
            Perbedaan antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Jika sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar partai otomatis terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999 calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Contohnya, Caleg A meski berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya ia dan partainya mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), Pemilu 1999 ini sama dengan metode yang digunakan pada Pemilu 1971.
            Dari total 500 anggota DPR yang dipilih, sebanyak 460 orang berjenis kelamin laki-laki dan hanya 40 orang yang berjenis kelamin perempuan. Sebab itu, persentase anggota DPR yang berjenis kelamin perempuan hanya meliputi 8% dari total.

Pemilu 2004
            Pemilu 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Di pemilu 2004 ini, untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah Indonesia.
            Pemilu 2004 menggunakan sistem pemilu yang berbeda-beda, bergantung untuk memilih siapa. Dalam pemilu 2004, rakyat Indonesia memilih presiden, anggota parlemen (DPR, DPRD I, dan DPRD II), serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk ketiga maksud pemilihan tersebut, terdapat tiga sistem pemilihan yang berbeda.



            Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka. Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.

            Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).























BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN   
     Sitem pemilu merupakan suatu kegiatan yang sangat menarik di kalangan mayarakat . sistem pemilu yang dianut Indonesia adalah sistem pemilihan proporsional. Sistem Pemilu dibagi menjadi tiga, yaitu :
1.      Sistem Pemilu Distrik
2.      Sistem Pemilu Proposional
3.      Sistem Pemilu Campuran
Pengaturan Pemilu Dalam UUD 1945 salah satunya terdapat pada Pasal 18 ayat 3  pemerintahan daerah provinsi , daerah , kabupaten , dan kota memiliki DPRD yang anggota anggota nya dipilih melalui pemilu .

3.2 SARAN

       Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “ SISTEM POLITIK INDONESIA”. Karena Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan kehidupan politik Indonesia semakin kompleks. Diharapkan dengan semakin banyaknya pengalaman dan perkembangan politik Indonesia dapat menciptakan stabilitas nasional. Tugas pembangunan kehidupan politik pada masa yang akan datang bukan hanya tugas partai politik saja, tetapi semua elemen pemerintahan dan tidak ketinggalan masyarakat juga harus ikut berpartisipasi mengembangkan perpolitikan di Indonesia. Manejemen dan kepemimpinan juga haruis terus ditingkatkan, ongkos politik yang tidak terlalu mahal  dan transparansi terhadap publik harus dekembangkan dan ditumbuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar stabilitas nasional dan politik kita semakin kokoh.





DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Marijan Kacung, 201

Prihatmoko, dkk. 2008.Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama