BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan merupakan bidang kehidupan yang menyangkut kepentingan semua
orang, diperlukan bagi anak-anak balita, remaja, pemuda, dan orang
dewasa/tua dari semua lapisan sosial. Pendidikan berlangsung sepanjang masa;
usia pendidikan telah sama tua dengan usia umat islam sendiri. Ajaran agama
menerangkan bahwa nabi Adam A.S., manusia pertama, diturunkan uhan kebumi dalam
rangka pendidikan dan dibekali dengan pesan-pesan pendidikan, khususnya
mengenai cara-cara manusia berhubungan dengan sesama manusia untuk disampaikan
kepada keturunannya. Para ahli antropologi memperkirakan derajat perkembangan
manusia pertama tercapai krang lebih 800.000-1.000.000 tahun yang lalu.
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat; setiap orang mengalaminya mulai dari
kelahiran dan baru berakhir saat dimakamkan, mulai ayunan sampai liang lahat.
Pendidikan juga diperlukan oleh setiap masyarakat dan budaya diseluruh dunia
yang memiliki jenjang kemajuan berbeda, mulai dari yang paling tradisional
sampai ang paling modern.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa saja karakteristik dasar sosiologi ?
2.
Bagaimana analisis model struktural fungsional ?
3.
Bagaimana analisis model konflik ?
4.
Bagaimana analisis model sosial kritis ?
5.
Bagaimana analisis pendidikan level Mikro ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui beberapa karakteristik dasar sosiologi.
2.
Untuk mengetahui analisis model struktural fungsional.
3.
Untuk mengetahui analisis model konflik.
4.
Untuk mengetahui model sosial kritis.
5.
Untuk mengetahui pendidikan level Mikro.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Dasar Sosiologi
Masyarakat terdiri atas
individu-individu yang masing-masing punya status atau kedudukan tertentu.
Setiap orang dalam masyarakat punya macam-macam status. Jaringan hubungan
antara status dan komponen-komponen masyarakat itu dinamakan struktur.
Interaksi sosial adalah proses atau peristiwa saling berhubungan dan saling
pengaruhi antarwarga masyarakat. Struktur merupakan dimensi sosial yang
relatif stabil, sedang proses, sesuai dengan namanya, bersifat dinamis dan
membuat struktur itu dinamis.
Mengenai karakteristik
dasar sosiolagi, pertama-tama perlu dilihat apa yang dikemukakan oleh Emile
Durkheim. Ia berpendapat bahwa posisi sosiologi yang mempunyai amat banyak
persamaan dengan sosiologi, sehingga sukar dibedakan satu sama lain, dan posisi
sosiologi tidak jelas. Atas dasar itu diperjuangkanya gar sosiologi diakui oleh
ilmu mandiri, Terpisah dari filsafat sosial dan psikologi. Dalam perjuanganya
itu ia mengajukan argumentasi yang amat kuat, Yaitu bahwa ketiga ilmu
tersebut sebetulnya memiliki objek studi dan pendekatan berbeda.
Sosiologi mempelajari masyarakat dengan pendekatan empirik; Filsafat
mempelajari masyarakat tetapi menggunakan pendekatan non-empirik, objek
material yang dikajinya adalah individu, bukan masyarakat. Sebagai contoh bahwa
sosiologi membutuhkan bantuan sains adalah dalam menjelaskan corak kehidupan
masyarakat yang berbeda di berbagai daeraah yang punya iklim dan lintang
astronomis berlainan.
Karakteristik utama yang
kedua dikemukakan oleh George Ritser pada tahun 1980 dalam bukunya Sociology a
Multiparadigm Science. Hal ia maksudkan adalah bahwa satu fenomena sosiologis
bisa dianalisis dengan menggunakan paradigma atau sudut pandang yang berbeda,
bahkan yang bertentangan satu sama lain. Situasi multiparadigmatis pada ilmu sosial
itu tidak terdapat pada sains karena sains bersifat monoparadigmatik.
Karakteristik dasar
sosiologi itu komparatif, bersifat memperbandingkan. Objek studi
Sosiologi bisa diperbandingkan baik secara horizontal maupun vertikal.
Selain ketiga karakteristik
dasar diatas, Sosiologi juga ditandai dengan aneka ragam tahap analisis: makro,
meso, dan mikro. Analisis makro membicarakan fenomena sosial pada level
submasyarakat atau subkultur; analisis mikro pada level yang bisa diamati.
Karakteristik sosiologi
berikutnya yang perlu diperhatikan adalah mengenai metode kerja. Pada awal
berdirinya Sosiologi menggunakan pendekatan kuantitatif, positivistik, sama
dengan pendekatan dan metode kerja yang digunkan dalam ilmu lamiah (sains)
dangan berbagai perhitungan statistik untuk membuktikan hipotesis yang
diajukan. Dalam kaitan ini Sosiologi juga menerapkan berbagai teknik
pengumpulan data kuantitatif, kemudian berkembang pendekatan kulaitatif yang
menekankan pada kualitas pemahaman akan objek studi (understanding). Perjalanan
kedua pendekatan itu selanjutnya membawa Sosiologi pada pendekatan alternatif
dan gabungan. Perlu dikemukakan juga bahwa Sosiologi menerapkan model analisis
cross sectional (mengkaji berbagai fenimena pada satu satuan waktu, terutama
waktu kini) disamping pendekatan historis longitudinal, mengkaji secara
historis perkembangan suatu fenomena atau kasus pendidikan, misalnya tentang
perkembangan penyelenggaraan wajib belajar di suatu tempat dari waktu ke waktu.[1]
B.
Analisis model struktural fungsional
Teori struktural
fingsional biasa juga disebut teori konsestus (consestus), teori integrasi,
atau teori keseimbangan. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa kehidupan
masyarkat merupakan sebuah sistem besar yang terdiri atas sebuah subsisme yang
saling pengaruhi dan saling tergantung, serta terintergasi satu sama lain dalam
membuat masyarakat itu berfungsi. Hubungan saling pengaruhi itu bukan hanya
antar subsistem melainkan juga antara subsistem-subsistem kehidupan dalam
lingkungan. Artinya , perubahan keadaan lingkungan berpengaruh terhadap
berbagai aspek kehidupan.
Para ahli sosiologi
pendidikan pendukung teori ini memusatkan perhatian dan fungsi pendidikan dalam
kehidupan . pertanyaan pokok yang mereka ajukan adalah apa fungsi pendidikan
dalam kehidupan masyarakat. Analisisnya terfokus pada level makro pada
kehidupan. Berikut dikemukakan beberapa tokoh utama teori ini beserta
pokok-pokok pikiranya.
1. Emile Durkheim (1858-1917)
Durkheim mengamati bahwa
pada waktu seseorang dilahirkan, ia tidak mampu berbahasa, belim
perpengetahuan, belum bisa berbuat apa-apa selain sedikit bergerak dan
menangis. Untuk bisa hidup terus, bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan
kondisi fisiknya, ia harus mempelajari segala sesuatu yang diperlukan itu dari
masyarakatnya. Dalam salah satu karyanya (moral education) Emile Durkheim
menekankan pentingnya pendidikan moral yang berlandaskan penerapan disiplin
yang diberikan pada setiap lingkungan dan jengjang pendidikan. Tanpa disiplin
yang baik, sekolah, kelas, dan masyarakat hanya kan merupakan tempat
berkumpulnya kaun preman dan brandal yang menyebabkan kehidupan kacau balau
tanpa aturan (anomi).
2. Talcott Parsons
(1902-1972)
Menurut Parsons, tindakan
atau perilaku individu dipengaruhi secara berimbang oleh kepentingan diri dan
kepentingan masyarakat. Tindakan individu berorientasi ganda, yaitu untuk
mewujudkan kepentingan pribadi dalam ukuran yang dibenarkan oleh masyarakat.
Orang bertindak untuk mencapai kepuasan dan mengurangi kekecewaan dirinya,
tetapi ia tidak bisa berbuat seenaknya sendiri karena dibatasi oleh kepentingan
orang lain. Jadi menurut Parsons kebebasan yang dimiliki seseorang tidak ranpa
batas, karena ia punya kewajiban memperhatikan kepentingan orang lain, bisa
dikatakan juag Palcott Parsons mrnjembatani realisme sosial dan nominalisme.
Dalam analisisnya Persons
mengemukakan bahwa subsistem-subsistem kahidupan itu meliputi subsistem
ekonomi, politik dan pemerintahan, hukum dan pengawasan sosial, agama,
pendidikan, dan keluarga.
Seperti halnya Durkheim,
Parsons pun melihat pendidikan sebagai pemegang fungsi sosialisasi dan seleksi.
Akan tetapi, dari kedua fungsi itu Parsons memberikan tekanan pada pentingnya
fungsi yang pertama, yaitu sosioalisasi, sosialisasi meliputi segala aspek
kehidupan: nilai, kognisi maupun motorik. Diantara ketiga aspek itu ia
mengutamakan sosialisasi nilai, karena konsensus akan nilai merupakan faktor
yang disyaratkan bagi timbul dan terpeliharanya integrasi sosial.
Tindakan sosial terdiri
atas empat tahapan sistem yang tersususn dari atas kebawah. Diatas sekali
terdapat tahapan (sistem) budaya, di bawahnya terdapat tahapan (sistem) sosial,
disusul dengan yang ketiga yaitu tahapan (sistem) kepribadian, dan yang paling
bawah adalah sistem perlaku atau tindakan.
Parsons selain malakukan
analisis tentang pendidikan pada level makro juga menaruh perhatian akan level
kelembagaan (meso). Jadi penurut Pasons, dalam sosialisasi ada proses
diferensiasi. Artinya dalam proses sosialisasi ada dampak yang berbeda
pada orang yang berbeda, karena para pelaku sosialosasi memiliki kapasitas yang
berbeda.
3. Tokoh-tokoh struktural
fungsional
Selain Emile Durkheim dan
Talcott Parsons beberapa tokoh struktural fungsional lain perlu dikemukakan
buah pikirannya mengenai fungsi pendidikan itu. Termasuk kedalamnya, Ralph
Turner, Earl Hopper dan Robert King Merton.
a) Ralph Turner, mengemukakan
bahwa pendidikan melakukan fungsi utama sebagai sarana mobilitas sosial. Ia
berangkat dari asumsi bahwa masyarakat merupakan kesatuan yang berlapis-lapis,
ada lapisan sosial bawah, menengah, dan atas.yang dimaksud dengan mobilitas
sosial, lebih spesifik mobilitas sosial vertikal adalah sesuatu pandangan yang
berlaku dalam masyarakat bahwa derajat orang dapat naik atau turun dalam
kelatisan sosial itu
b) Earl Hopper, melanjutkan
analisis Emile Durkheim tentang pendidikan sebagai faktor seleksi dalam
kehidupan masyarakat. Sebagaimana dimaklumi, Emile Durkheim menekankan bahwa
melalui pendidikan dimungkinkan orang memiliki spesialisasi atau keahlian
khusus yang menjadi landasan pemberian penghargaan dan status. Pendidikan,
dengan demikian, menjadi faktor seleksi dalam menempatkan orang pada status
sosial, terutama dalam masyarakat industri.
c) Robert King Merton, dalam
pandangannya, jika seseorang melakukan sesuatu, tindaknnya itu bisa melahirkan
dua macam akibat atau dampak, yaitu yang fungsional dan disfungsioanl. Dampak
fungsional yaitu akibat dari tindakan yang sesuai dengan tujuan semula, sedang
dampak disfungsional tidak sesuai dengan tujuan, merugikan atau menimbulkan
masalah baru.[2]
C.
Analisis Modal Konflik
Analisis konflik bertolak
dari teori konflik yang salah satu tokoh utamanya adalah Karl Mark (1818-1883),
sosiologi jerman. Oleh karena itu model anilisis konflik biasa juga disebut
model analisis Karl Mark (Marxis). Pola berfikir Karl Mark bercorak
determinisme ekonomi. Ekonomi dipandang sebagai infrastruktur yang menentukan
segi-segi kehidupan politik, hukum, kepercayaan, dan lain-lain yang dipandang
sebagai suprastruktur. Pada level individu determinasi ekonomi itu berlangsung
dang menentukan penampilan, pola berfikir, bercita-cita, dan perilaku
seseorang. Artinya, orang yang memiliki tahap ekonomi berbeda akan berbeda pula
dalam pola pikir, bercita-cita, berperilaku, dan berpenampilan. Jadi
infrastruktur menentukan suprastruktur.
Selanjutnya, menurut Karl
Marx, dalam masyrakat kapitalis terdapat dua kategori manusia, yaitu
borjuis dan proletar. Kedua kategori sosial itu berkonflik terus tanpa
kesudahan, kecuali kalu perbedaan penguasaan faktor produksi dihentikan.
Bertolak dari pokok
pikiran Kerl Marx tentang keberadaan konflik tanoa kesudahan pada masyarakat
kapitalis, para pemikir pendidikan melakukan pengkajian pada level makro
mengenai peran pendidikan dalam membuat sistem kemasyarakatan semacam itu bisa
bertahan. Mereka melihat pendidikan dengan menggunakan kacamata yang berbeda
dengan kaum struktural fungsional, dengan asumsi bahwa pada sistem
kemesyarakatan yang berbeda berlangsung sistem pendidikan yang berlainan.
Jika menurut penganut
teori struktural fungsional, guru memainkan peran selaku wakil generasi orang
dewasa, masyarakat dan bangsa dalam proses mendewasakan anak-anak dan pemuda,
maka menurut penganut teori konflik, guru adalah wakil kaum penguasa yang
mamaksakan nilai-nilai dan segala sesuatu yang dianutnya agar menjadi anuatan
generasi muda pula. Pendapat seperti ini dibenarkan oleh Max Weber yang
mengatakan bahwa ada kelompok-kelompok yang nilai-nilainya dipaksakan untuk
diikuti, sementara kelompok lain dipaksa untuk menerimanya. Keberhasilan
seorang guru diukur dengan keberhasilanya dalam menanamkan dominasi itu.
Diantara penganut teori konflik, S. Bouless dan H. Gintis, dan Louis Althusser,
adalah pemuka-pemuka yang terkenal gagasanya dalam bidang sosiologi pendidikan
versi teori konflik.[3]
D. Anilisis Model Sosiologi Kritis
Model analisis kritis ini
mengacu kepada teori Sosiologi Kritis (Critical Sociology) yang
berkembang di Frankfurt, Jerman, mulai dekade 1920-an. Analisis pendidikan yang
bersandar pada teori konflik melihat pendidikan sebagai upaya kaum dominan
untuk mempertaahankan status quo.
Model analisis pendidikan
yang bersandar pada teori Sosiologi Kritis mendorong emansipasi kaum lemah yang
tersisihkan dalam masyarakat. Hal yang menjadi fokus pehatiannya adalah
memperbaiki peristiwa-peristiwa aktual dalam pendidikan, baik pada level makro
maupun mikro, yang dinilai kurang memperhatikan kaum lemah yang memerlukan
bantuan.
Pada level meso dan mikro,
artinya dalam lingkungan unit pendidikan sendiri , analisis Sosiologi Kritis
melhat bahwa para pelajar berada pada posisi lemah, pasi, dibentuk,
terkungkung, dan harus tunduk kepada kurikulum dan guru yang dipandang sebagai
wakil negara, bangsa, dan orang dewasa di sekolah. Untuk ke luar dari situasi
ini kurikulum dan pelaksanaannya diharuskan memfokuskan perhatian kepada
kepentingan siswa (student oriented). Model pembelajaran harus mengembangkan
kreativitas dan daya kritis peserta didik. Pendidikan guru harus disesuaikan
dengan pelaksanaan pendidikan yang lebih berorientasi kepada kepentingan
peserta didik. Profesionalisme guru yang sudah ada harus disesuaikan kepada
orientasi baru.
Situasi penyelenggaraan
pendidikan (khususnya pendidikan persekolahan), di negara-negara dunia ketiga
pada umumnya baru dikembangkan pada pertengahan kedua abad yang lalu. Buah
pikiran Paulo Freire dan Ivan Illich yang diterbitkan pada awal dekade 1970-an
masih dinggap membawa angin segar bagi pembaharuan pendidikan. Berikut adalah
pemikiran mereka.
1.
Paulo Freire
Paulo Freire dalam
buku-bukunya, ia melukiskan bahwa dalam pendidikan tradisional, guru memainkan
peran sangat dominan dalam interaksinya dengan pelajar. Cara belajar yang
demikian itu menghasilkan pelajar dan lulusan yang menganut budaya bisu
(culture of silence).
2.
Ivan Illich
Ivan Illich dalam bukunya
yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ia mengemukakan bahwa selama ini
sekolah merupakan tempat anak-anak ditekan dan dipaksa untuk mempelajari
hal-hal yang tidak mereka sukai atau kehendaki. Belajar yang baik berlangsung
dalam suasana bebas yang memungkinkan pelajar memilih sendiri pelajaran yang
disukainya. Demikianlah, kehidupan di sekolah dan di dalam kelas harus difokuskan
pada kepntingan, minat dan kemampuan belajar siswa, yang selama ini terabaikan.
Sekolah dan kelas diharapkan menjadi lingkungan belajar yang menyenangkan dan
menguntungkan bagi pihak yang paling memerlukan dalam rangka mewujudkan potensi
yang dimilikinya semaksimal mungkin.[4]
E.
Analisis Pendidikan Level Mikro
Model analisis level mikro
berkembang di Inggris dan Amerika Serikat dalam waktu yang tidak berjauhan,
sekitar pertengahan abad yang lalu. Antara keduanya terdapat perbedaan dan
persamaan karakteristik .
1.
Model Analisis Level Mikro di Inggris
Pada awal dekade 1960-an
di Inggris berkembang model analisis yang mendapat julukan ‘New Sociology of
Education’. Di antara tokoh-tokoh pelopornya adalah Basil Bernstein, Neil
Keddie dan M.F.D. Young.
Model analisis ‘New
Sociology of Education’ bermula dari ketidakpuasan masyarakat Inggris
akan kebijakan dan pelaksanaan pendidikan di sekolah beserta hasilnya.
Pendidikan persekolahan dianggap gagal dalam mencapai tujuannya yaitu membentuk
manusia paripurna, memanusiakan manusia. Hal yang menjadi tujuan utama ‘New
Sociology of Education’ adalah perbaikan sistem pendidikan agar
dihasilkan manusia seutuhnya.
Pendekatan yang digunakan
oleh ‘New Sociology of Education’ adalah pendekatan kualitatif
dengan penekanan pada observasi, baik dengan -maupun tanpa- partisipasi.
2. Model Analisis Mikro di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat
berkembang analisis level mikro yang dilandasi teori Interaksi Simbolik dan
Teori Fenomenologi dalam Sosiologi. Kedua model analisis mikro yang ada di
Inggris dan Amerika Serikat mempunyai persamaan dalam level analisis, yaitu
kedua-duanya menggunakan level analisis mikro. Namun, diantara keduanya
terdapat petbedaan dalam landasan teori. Di Inggris, ‘New Sociology of
Education’ diberi julukan ‘Atheoretical’ (tanpa teori) sedang model analisis
mikro yang berkembang di Amerika Serikat justru amat kental dengan teori, yaitu
teoti Interaksi Simbolik yang mulai dikenal pada dekade 1920-an dan berkembang
oesat pada dekade 1930-an, dan teori Fenomenologi.
Analisis Sosiologi Pendidikan
yang d didasari kedua teori itu akan meliputi tiga hal berikut: (1) Informasi
lapangan diperoleh dengaan pendekatan fenomenologi, (2) Objek kajianya berupa
“isi” dari pendidikan (kurikulum, cara mengajar, perlakuan terhadap peserta
didik, evaluasi, dan lain-lain), dan (3) Dalam pelaksanaanya diterapkan
prinsip-prinsip Interaksi Simbolik.[5]
Baca Selengkapnya : Makalah Pengelolaan Pembelajaran
Posting Komentar