Cita-cita nasional sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 sampai saat ini masih jauh dari jangkauan. Ini dapat dilihat dari indikasi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan. Selain itu persoalan keamanan dan ketertiban yang meresahkan serta ketidakadilan yang belum ada tanda-tanda akan segera berakhir.
Pun hiruk-pikuk dan kegaduhan politik yang diperlihatkan elite bangsa di tingkat pusat pemerintahan sarat dengan materi yang jauh dari kepentingan kesejahteraan warga miskin. Upaya memperbaiki keadaan oleh penguasa sering kelihatan kurang kompak. Koordinasi antarsatuan kerja pemerintahan bukan saja lemah, bahkan saling menelikung. Kementerian negara lebih banyak menunjukkan entitas kerajaan, manajemen pemerintahan by trial and error, sistem otonomi yang dibelenggu mindset sentralistik. Ini mengakibatkan ketercapaian cita-cita nasional makin jauh. Karena itu, perlu membangun karakter bangsa melalui pendidikan karakter, untuk membentuk atau mengembangkan kepribadian atau karakter anak, baik selaku pribadi maupun warga negara.
Pendidikan karakter dapat dilakukan melalui mata pelajaran tertentu dengan sistem evaluasi menyatu dengan mata pelajaran tersebut. Dalam sistem pendidikan nasional ada mapel Pendidikan Budi Pekerti dan Agama yang isinya memuat bahan pengembangan karakter siswa. Pada KTSP 2006 ada pengelompokan mapel seperti Agama dan Akhlak Mulia, Kewarganegaraan dan Kepribadian, Sains dan Teknologi. Namun guru mapel itu kurang menaruh perhatian terhadap muatan pendidikan karakter. Di sisi lain pendidikan berbasis karakter dimaksudkan sebagai model kurikulum dengan proses pendidikan yang tiap tahapannya mengandung unsur dasar pengembangan karakter positif bagi peserta didik. Tiap langkah pembelajaran untuk mapel apa pun wajib hukumnya memasukkan unsur karakter positif bagi peserta didik. Namun terincinya kurikulum berbasis karakter tersebut tetap memberi peluang bagi guru untuk berinovasi, berkreativitas memberdayakan kearifan lokal.
Dalam pengertian bangsa sebagai entitas kolektif, ada keterikatan antara orang per orang yang karena sebab tertentu dalam proses panjang jadi sebuah kesatuan. Terdapat hubungan erat antara kepribadian kolektif dan kepribadian individu. Dalam konteks ini kepribadian kolektif lebih dominan tanpa mengabaikan eksistensi kepribadian individu. Rujukan Utama Kepribadian kolektif itulah yang jadi rujukan utama tiap orang sebagai warga negara.
Terkait kepribadian individu dan kepribadian kolektif fakta menunjukkan tiap negara memiliki perlakuan berbeda terhadap status dan role dua kepribadian. Hal ini bergantung kepada dasar negara atau falsafah hidup yang dianut oleh suatu bangsa. Dalam hubungan dengan karakter individu, pengertian karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtue) yang diyakini dan digunakannya sebagai sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.
Mengacu pengertian ini maka karakter bangsa adalah kepribadian bangsa yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai nilai (value), kebajikan yang berasal dari khazanah budaya asli yang disepakati dan diyakini serta digunakan sebagai landasan untuk mengambil sikap, tindakan dalam mencapai tujuan bangsa (Hariyati, Titik 2010; Soegeng Ysh 20- 10:10). Dalam hal ini perlu kembali mengingatkan bahwa Pancasila di samping sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa juga sebagai kepribadian dan karakter bangsa, serta identitas nasional (Sastraprateja, M 2006 :46-49). Untuk itulah Pancasila haruslah menjadi rujukan dasar dalam menata kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sistem ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan nasional harus merujuk pada Pancasila. Pancasila haruslah menjadi tolok ukur ketika negara mengatur sistem-sistem tersebut.
Sudharto ; Sekretaris Dewan Kehormatan Guru Pusat;
Mengabdi di Universitas PGRI Semarang
SUARA MERDEKA, 11 Juni 2015
god job
BalasHapusPosting Komentar