MAKALAH
SYSTEM
KEPERCAYAAN DAN AGAMA
Untuk
Mememnuhi Tugas Ilmu Budaya Dasar
DOSEN PEMBIMBING :
SASMITA
RUSNAINI,S.AB.M.A
DISUSUN OLEH :
Ø QOLBIYAH WULANDARI
Ø MONA SRI REZEKI
Ø MELISA
Ø FITRI AYU NINGSIH
Ø PUJI SUKRI
SEKOLAH
TINGGI ILMU ADMINISTRASI (STIA) YAYASAN SETIH SETIO MUARA BUNGO
TAHUN
AKADEMIK 2017/2018
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita semua, sehingga masih
dapat bernafas dan menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa, yaitu mencari ilmu
dengan sebaik-baiknya.
Solawat
serta salam yang selalu kita sampaikan ke pada Nabi Muhamad SAW, yang telah
membawa kita semua dari alam kegelapan ke pada alam yang penuh dengan
pengetahuan seperti yang telah kita rasakan pada saat ini.
Dalam hal ini kami sebagai penyusun
makalah mengucapkan banyak syukur, karena atas rahmat Allah kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini dengan sebagaimana mestinya yang di perintahkan oleh dosen
pengasuh kami.
Dalam penulisan makalah ini kami
sebagai penyusun menyadari akan banyaknya kekurangan. Namun dengan demikian
kami sebagai penyusun makalah menyampaikan permohonan maaf yang tak terhingga
kepada para pembaca sekalian.
Muara
Bungo, Maret 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
Halaman judul ........................................................................................... i
Kata pengantar ........................................................................................... ii
Daftar isi iii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan
Masalah 2
1.3 Tujuan
Penulisan .................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Agama .................................................................................. 3
2.2 Ciri-ciri
Agama .................................................................................. 3
2.3 Konsep
Religi .................................................................................. 6
2.4 Teori Religi .................................................................................. 8
2.5 Unsur Dasar Religi................................................................................. 11
2.6 Fungsi
Agama/Religi dan Agama.......................................................... 13
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap hari kita pasti
menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan kita
masing-masing. Kemudian apa yang ada di benak kita ketika berbicara tentang
agama? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan agama? Dalam antropologi, agama
merupakan salah satu dari tujuh unsur budaya yang harus dipelajari yang di
dalamnya termasuk sistem kepercayaan atau sistem religi. Pernahkah kita
berpikir bahwa agama merupakan hasil penafsiran manusia atas kitab suci yang
diyakini kebenaranya. Agama dapat dipergunakan manusia untuk membenarkan
tingkah lakunya. Atas nama agama pula manusia melakukan berbagai aktivitas
selama ini sebagai unsur yang berada di luar diri manusia.
Berbagai upacara keagamaan
atau perayaan agama sebagai salah satu bentuk bahwa kita sebagai manusia yang
beragama harus menjalankan kewajibannya sebagai manusia yang taat beragama.
Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari
keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama dapat membangkitkan
kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri. Agama
memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka
dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan. Ide tentang Tuhan telah
membantu memberi semangat kepada manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya
sehari-hari, menerima nasibnya yang tidak baik atau bahkan berusaha mengatasi
kesukaran-kesukaran yang banyak dan berusaha mengakhirinya. Dalam berperilaku
menjalankan agamanya tersebut sangat beragam karena banyaknya agama yang
tersebar di dunia. Secara singkat, agama di dunia dibedakan menjadi dua yaitu
agama bumi/alam dengan agama wahyu.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
konsep agama/religi?
2.
Apa fungsi Agama atau Religi dan
kepercayaan?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalh ini adalah untuk memahami system kepercayaan dan agama beserta
fungsinya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep Agama
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya
untuk mengetahui definisi mengenai agama. Definisi agama ada bermacam-macam,
tergantung sudut pandang yang dipergunakannya. Geertz, seorang antropolog
Amerika mengatakan bahwa agama adalah sebuah sistem simbol, sarana yang dipakai
untuk membangun suasana hati dan motivasi yang kuat dan tahan lama di dalam
diri manusia, rumusan konsepsi tatanan kehidupan, konsepsi suatu aura faktual,
dan sarana untuk membuat suasana hati dan motivasi tampak realistik secara
unik. Ia selanjutnya mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem kultur. Adapun
Edward Burnett Tylor mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan pada
makhluk-makhluk spiritual. Lebih lanjut dikatakannya bahwa agama adalah budaya
primitif. Menurutnya, tahap awal agama adalah kepercayaan animisme, yakni alam
memiliki jiwa. Pemujaan terhadap orang mati, pemujaan kepada para leluhur atau
nenek moyang.
Sementara itu, Durkheim mengatakan bahwa
agama adalah hal yang berkenaan dengan yang sakral dengan yang sosial. Hal yang
paling elementer di dalam agama adalah totemisme. Totem adalah objek
penyembahan, tetapi bukan dewa. Totem tidak menimbulkan ketakutan atau
kehormatan, bahkan secara primitif tidak didiami oleh roh. Namun, totem
memiliki sifat sosial. Totem adalah simbol suatu suku bangsa. Berlainan dengan
Freud dan Marx, dikatakannya bahwa agama adalah kepercayaan kepada para dewa.
Evan Pritchard dan Geertz mengatakan bahwa agama adalah hubungan yang tepat
dengan wilayah mistik yang terletak di balik dan di luar kehidupan biasa.
Dikutip dari Antropolog Haviland, agama adalah kepercayaan dan pola perilaku
yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tidak
dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan
teknik organisasi sehingga akhirnya berpaling
kepada manipulasi makhluk dan kekuatan supranatural.
2.2 Ciri-ciri
Agama
Menurut Daniel Lerner, cepat atau lambat
masyarakat akan menuju pada kehidupan modern. Penyebab hal tersebut
diperkirakan oleh media massa yang dengan mudah mempengaruhi manusia berubah
dari masyarakat tradisional menuju modern. Mannhardt mengatakan bahwa bentuk
mitologi lebih sederhana adalah ritus-ritus dan kepercayaan para petani seperti
hantu-hantu tanaman, rohroh gandum, dan roh-roh pepohonan.
Ada dua jenis agama yang ada di muka bumi ini. Kedua
jenis agama tersebut adalah agama bumi dan agama wahyu. Mari kita deskripsikan
bersama.
a. Agama
Bumi
Agama bumi tidak mengenal surga dan neraka,
yang ada hanyalah hidup dan mati. Nirwana pun hanya ada dalam kehidupan. R.M.
Lowie mengatakan bahwa agama primitif dipengaruhi dan ditentukan bentuknya oleh
kesadaran tentang adanya hal yang misterius, supernatural, dan sesuatu yang
luar biasa.
Di dalam agama primitif, terdapat ritual
magis yang secara psikologis berkaitan dengan peristiwa kerasukan, memercayai
kekuatan supranatural mampu mengubah dunia.
b. Agama
Wahyu
E.E. Evans Pritchard mengatakan bahwa awal
munculnya agama adalah dari Tuhan bersamaan dengan diciptakannya manusia
pertama yang juga bertindak selaku nabi, yaitu Adam. Dikutip dari Pritchard,
yang disebut dengan wahyu bukanlah suatu khayalan atau imajinasi, atau bahkan
intuisi. Wahyu adalah firman Tuhan tentang diri-Nya, ciptaan-Nya, relasi antara
keduanya, serta jalan menuju keselamatan yang disampaikan Nabi dan Rasul
pilihan-Nya direpresentasikan melalui kata-kata dan disampaikan kepada Nabi
kepada umat manusia melalui bentuk bahasa yang bersifat baru, mudah dipahami
tanpa kerancuan (confusion) dengan
subjektivitas dan inagurasi kognitif pemikiran Nabi.
Dikutip dari van Baal, wahyu adalah sesuatu yang datang dari Tuhan atau dari
dewa-dewa, jadi hal yang tidak dapat dijangkau oleh daya pikir manusia.
Tabel 1.
Perbedaan antara Agama Wahyu dengan Agama Bukan Wahyu
Agama
|
Kepercayaan
|
Berpokok pada konsep
keesaan Tuhan
|
Tidak harus
demikian.
|
Beriman kepada nabi.
|
Tidak beriman kepada
nabi.
|
Sumber utama tuntunan
dan ukuran bagi baik dan buruk adalah kitab suci yang diwahyukan.
|
Kitab suci yang
diwahyukan tidak esensial.
|
Lahir di Timur
Tengah.
|
Lahir di luar area
Timur Tengah (kecuali Paganisme).
|
Timbul di
daerah-daerah yang secara historis berada di bawah pengaruh ras Semitik,
kemudian menyebar ke luar area pengaruh Semitik.
|
Lahir di luar area
Semitik.
|
Agama wahyu adalah
agama mission-ary, sesuai dengan ajaran dan/atau historisnya.
|
Bukan agama
missionary
|
Ajarannya tegas dan
jelas.
|
Ajarannya kabur dan
sangat elastik.
|
Ajarannya memberikan
arah dan jalan yang lengkap kepada para pemeluknya. Pemeluknya berpegang baik
pada aspek duniawi (the worldly) atau aspek spiritual dari hidup ini.
|
Taoisme menitik
beratkan kepada aspek hidup spiritual, pada Confusianisme lebih menekankan
pada aspek duniawi.
|
Tabel
2. Perbandingan Sistem Kepercayaan
Sistem Kepercayaan
|
Cara
|
Tujuan
|
Dampak Sosial
|
Magis
|
Tidak rasional
Misalnya, sesaji, bakar kemenyan, dan lain-lain
|
Rasional Misalnya,
untuk keselamatan dunia, kesehatan ataupun kekayaan
|
Otoritas dukun
(magician), pengokohan hubungan-hubungan sosial, struktur sosial komunitas
magis
|
Agama
|
Rasional Misalnya
puasa, zakat, misa, dan lain-lain
|
Tidak rasional
Misalnya masuk surga, reinkarnasi, dan lain-lain
|
Otoritas pemimpin
agama, pengokohan kekuasaan politis, struktur sosial keagamaan, perubahan
kebudayaan
|
Ilmu Pengetahuan
|
Rasional Misalnya
metode ilmu bisa dibuktikan
|
Rasional Misalnya
pemecahan problem duniawi
|
Otoritas ilmuwan, pengokohan
politis, struktur sosial komunitas keilmuan, perubahan kebudayaan,
rasionalitas fenomena
|
2.3 Konsep Religi
Sementara itu, religi memiliki pengertian
yang senada dengan agama. Dikutip dari J. van Baal, religi adalah semua gagasan
yang berkaitan dengan kenyataan yang tidak dapat ditentukan secara empiris dan
semua gagasan tentang perbuatan yang bersifat dugaan semacam itu, dianggap
benar. Dengan demikian, surga atau neraka dianggap benar adanya meski tidak
dapat
dibuktikan keberadaannya. Religi itu adalah
sesuatu yang berkaitan dengan nilai susila yang agung. Religi itu memiliki
nilai, dan bukannya sistem ilmu pengetahuan. Religi juga sesuatu yang tidak
masuk akal
dan bertentangan
dengan rasio. Religi menyangkut pula masalah yang dimiliki manusia. Religi
sangat mempercayai adanya Tuhan, hukum kesusilaan, dan roh yang abadi. Spencer
mengatakan bahwa awal mula munculnya religi adalah karena manusia sadar dan
takut akan maut.
Berikutnya terjadi evolusi menjadi lebih
kompleks dan terjadi diferensiasi. Diferensiasi tersebut adalah penyembahan
kepada dewa; seperti dewa kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa perang, dewa pemelihara,
dewi kecantikan, dewa maut, dan lain sebagainya. Di dalam religi juga muncul
yang disebut dengan Fetiyisme. De Brosess mengatakan bahwa fetiyisme adalah
pemujaan kepada binatang atau barang tak bernyawa yang dijadikan dewa.
Sementara itu kepercayaan akan kekuatan suatu benda yang diciptakan oleh
ahlinya disebut dengan Feitico atau azimat. Orang-orang yang berlayar banyak
yang mengenakan azimat ini agar dapat selamat kembali ke darat.
Sumber penting di dalam religi adalah adanya
empat hal yang muncul yang berkaitan dengan perasaan; yakni takut, takjub, rasa
syukur, dan masuk akal. Di dalam perkembangannya, animisme berubah menjadi
politeisme, dan lalu berubah menjadi monoteisme. Banyak istilah yang kemudian
muncul berkenaan dengan adanya sistem religi. Istilah yang kerap muncul di
dalam religi adalah Tuhan, dewa, dewi, malaikat, roh, jin, iblis, setan, hantu,
peri, raksasa, momok, roh, nyawa, orang mati, syamanisme, monoteisme,
politeisme, ateisme, kesurupan, kerasukan, wahyu, pendeta, guru, nabi, pengkhotbah,
dukun, ahli sihir, intuisi, pertanda, ramalan, animisme, totemisme, meditasi,
puasa, mana, tabu, sakral, najis, kudus, duniawi, dan seterusnya. Jika
dicermati, istilah-istilah tersebut memiliki hal yang agung, gaib, suci,
menakutkan, dan tak kasat mata.
R.R. Marret mengatakan bahwa animisme bukan
tahap awal suatu agama, melainkan pra-animisme. Pra-animisme; yakni animatisme.
Dikutip dari Marret, animatisme adalah pengalaman tentang kekuatan yang
impersonal; yaitu suatu kekuatan yang supranatural yang
tinggal di dalam orang-orang tertentu, binatang tertentu, dan di dalam
bendabenda yang tak berjiwa. Kekuatan tersebut dapat berpindah. Kekuatan ini
disebut dengan mana.
Orang-orang primitif memiliki perasaan bahwa
ada sesuatu kekuatan gaib pada orang-orang dan benda-benda tertentu. Ada dan
tidak adanya perasaan tersebut yang kemudian memisahkan antara yang suci
(ukhrowi) dengan duniawi; dunia gaib dengan dunia sehari-hari. Dari hal
tersebut muncul dengan yang dinamakan takwa. Dikutip dari Pritchard, takwa
adalah suatu gabungan dari rasa takut, damba, kagum, tertarik, hormat, bahkan
mungkin cinta.
Spencer mengatakan bahwa religi muncul karena
manusia sadar dan merasa takut akan adanya maut, berevolusi kepada yang lebih
kompleks menjadi penyembahan terhadap dewa maut, dewa perang, dewi kecantikan,
dewa laut, dan sebagainya. E.B. Tylor mengatakan bahwa bentuk religi yang
tertua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa
orang-orang yang telah meninggal, terutama nenek moyang.
2.4 Teori-Teori tentang Religi
Mengapa manusia percaya kepada suatu kekuatan yang
dianggapnya lebih tinggi dari dirinya? Mengapa manusia melakukan berbagai macam
cara untuk mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi? Ada banyak teori yang
berbeda tentang masalah tersebut.
Menurut teori yang terpenting, perilaku manusia bersifat
religi karena sebab-sebab sebagai berikut.
a) Manusia
mulai sadar akan adanya konsep roh.
b) Manusia
mengakui adanya berbagai gejala yang tidak dapat dijelaskan dengan akal.
c) Keinginan
manusia untuk menghadapi berbagai krisis yang senantiasa dialami manusia dalam
daur hidupnya.
d) Kejadian-kejadian
luar biasa yang dialami manusia di alam sekelilingnya.
e) Adanya
getaran (yaitu emosi) berupa rasa kesatuan yang timbul dalam jiwa manusia
sebagai warga negara masyarakat.
f) Manusia menerima suatu
firman dari Tuhan.
Adapun teori-teorinya antara lain sebagai
berikut.
a.
Teori Roh
Teori ini dikemukakan oleh
E.B. Tylor. Menurut Tylor, asal mula religi adalah kesadaran manusia akan
konsep roh. Hal itu terjadi karena dua sebab.
1)
Perbedaan yang tampak antara benda hidup dan
benda yang mati. Makhluk yang masih dapat bergerak disebut makhluk hidup,
tetapi apabila tidak bergerak lagi, maka itu berarti bahwa makhluk tersebut
mati. Dengan demikian, manusia lama-kelamaan mulai menyadari bahwa gerak dalam
alam (yaitu hidup) disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di samping
tubuh jasmaninya, yakni jiwa (yang kemudian lebih khusus disebut roh).
2)
Pengalaman bermimpi. Dalam mimpinya manusia
melihat dirinya berada di tempat-tempat lain selain tempat ia tertidur. Maka ia
mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur, dan
bagian lain dari dirinya, yaitu jiwanya (rohnya), yang pergi ke tempat lain.
b. Teori
Batas Akal
Teori ini dikemukakan oleh J.G. Fraser. Dalam
bukunya The Golden Bough jilid I seperti ditulis oleh Koentjaraningrat (2002:
196–197), ia mengatakan bahwa manusia memecahkan masalah-masalah hidupnya
dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan
sistem pengetahuan manusia terbatas. Makin maju
kebudayaannya, makin luas batas akal itu. Dalam banyak kebudayaan batas akal
manusia masih sangat sempit. Soal-soal hidup yang tidak dapat mereka pecahkan
dengan akal, dipecahkan dengan magic, atau ilmu gaib.
Menurut Frazer, ketika religi belum hadir
dalam kebudayaan manusia, manusia hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan
masalah-masaah hidup yang berada di luar jangkauan akal dan pengetahuannya.
Ketika mereka menyadari bahwa ilmu gaib tidak bermanfaat bagi mereka, mulailah
timbul kepercayaan bahwa alam dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang lebih
berkuasa, dengan siapa manusia kemudian mulai mencari hubungan, sehingga
timbullah religi.
c. Teori
Masa Krisis dalam Hidup Individu
Pandangan seperti ini dikemukakan oleh M.
Crawley dalam bukunya Tree of Life (1905) dan A. van Gennep dalam bukunya Rites
de Passage (1909). Dalam buku yang ditulis oleh Koentjaraningrat (1002: 197),
kedua pakar menyatakan bahwa selama hidupnya manusia mengalami berbagai krisis
yang sangat ditakuti oleh manusia, dan karena itu menjadi objek dari
perhatiannya. Terutama terhadap bencana sakit dan maut, segala kepandaian,
kekuasaan, dan harta benda yang dimilikinya, manusia tidak berdaya.
Bagi manusia, ada saat-saat ketika manusia
mudah jatuh sakit atau tertimpa bencana. Misalnya masa kanak-kanak, atau saat
ia beralih dari usia pemuda ke usia dewasa, masa hamil, melahirkan, dan saat ia
menghadapi sakratul maut. Pada saat-saat seperti itu manusia merasa perlu
melakukan sesuatu untuk memperteguh imannya, yang dilakukannya dengan
upacara-upacara.
Perbuatan-perbuatan inilah yang merupakan pangkal dari
religi dan merupakan bentuk-bentuk yang tertua.
d. Teori
Kekuatan Luar Biasa
Pendapat ini diajukan oleh R.R. Marret. Ia
tidak sependapat dengan Tylor. Menurutnya, kesadaran seperti itu terlalu
kompleks bagi pikiran makhluk manusia yang baru berada pada tingkat-tingkat
awal dari kehidupannya. Ia juga mengatakan bahwa pangkal dari segala perilaku
keagamaan ditimbulkan oleh perasaan tidak berdaya dalam menghadapi
gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap luar biasa dalam
kehidupannya.
Alam dianggap sebagai tempat adanya
kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenalnya dalam
alam sekelilingnya, disebut the supernatural. Gejala-gejala, hal-hal, dan
peristiwa-peristiwa yang luar biasa itu dianggap sebagai akibat dari kekuatan
supernatural (atau kekuatan sakti).
e. Teori
Elementer Mengenai Hidup Beragama
Tokoh teori ini adalah E. Durkheim. Inti dari teori
seperti terdapat dalam buku tulisan Koentjaraningrat (2002 : 199) adalah
sebagai berikut.
1.
Sejak awal keberadaannya di muka bumi,
manusia mengembangkan religi karena adanya getaran jiwa, yaitu suatu emosi
keagamaan, yang timbul dalam jiwanya karena adanya emosi terhadap keagamaannya,
dan bukan karena dalam pikirannya manusia membayangkan adanya roh yang abstrak,
berupa kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak dalam alam semesta ini.
2.
Dalam pikirannya, emosi keagamaan itu berupa
perasaan yang mencakup rasa keterkaitan, bakti, cinta, dan sebagainya, terhadap
masyarakatnya sendiri, yang baginya merupakan seluruh dunianya.
3.
Emosi keagamaan tidak selalu berkobar-kobar
setiap saat dalam dirinya. Apabila tidak dirangsang dan dipelihara, emosi
keagamaan itu menjadi latent (melemah), sehingga perlu dikorbarkan kembali,
antara lain melalui kontraksi masyarakat (mengumpulkan seluruh masyarakat dalam
pertemuan-pertemuan raksasa).
4.
Emosi keagamaan yang muncul itu membutuhkan
suatu objek tujuan. Mengenai apa yang menyebabkan bahwa sesuatu hal menjadi
objek dari emosi keagamaan, bukanlah terutama sifatnya yang luar biasa atau
aneh dan megah, tetapi adanya tekanan berupa anggapan umum dalam masyarakat, misalnya
karena salah satu peristiwa secara kebetulan pernah dialami orang banyak. Objek
yang menjadi tujuan emosi keagamaan juga dapat bersifat sacre (keramat),
sebagai lawan dari sifat profan (tidak keramat), yang tidak memiliki nilai
keagamaan.
5.
Suatu objek keramat sebenarnya merupakan
lambang dari suatu masyarakat. Pada suku-suku bangsa asli di Australia, objek
keramat yang menjadi objek emosi kemasyarakatannya sering kali berwujud suatu
jenis hewan atau tumbuhtumbuhan. Para pakar menyebut prinsip yang berada di
belakang objek dari suatu kelompok dalam masyarakat (misalnya klan atau
kelompok kerabat) dengan istilah totem.
2.5 Unsur-Unsur
Dasar Religi
Kamu tentu tahu bahwa bangsa Indonesia terdiri atas
suku-suku (lebih dari 600 suku). Kamu tentunya juga tahu apa yang telah
diungkapkan E. Durkheim tentang teori religi. Nah, untuk mendeskripsikan religi
dalam suku-suku bangsa di Indonesia, antropologi membagi religi ke dalam
unsur-unsur sebagai berikut.
a. Emosi keagamaan (getaran
jiwa) yang menyebabkan bahwa manusia didorong untuk berperilaku keagamaan.
b. sistem kepercayaan atau
bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup, dan
maut.
c. Sistem
ritus dan upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan
sistem kepercayaan tersebut.
d. Kelompok
keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan dan mengaktifkan
religi berikut sistem-sistem keagamaannya.
e. Alat-alat
musik yang digunakan dalam ritus dan upacara kesamaan.
Agama sering dipahami sebagai kepercayaan
kepada Tuhan. Bisa pula dipahami sebagai pengamalan yang berkait dengan
kepercayaan tersebut. Namun, sebetulnya agama memiliki cakupan yang lebih luas
dibandingkan dengan kepercayaan. Kita bisa mengatakan bahwa sesuatu itu agama
apabila ada unsur-unsur: perilaku (sembahyang, membuat sajian, perayaan dan
upacara), sikap (seperti hormat, kasih atau takut), pernyataan (seperti mantra,
jampi, kalimat suci), dan benda-benda lahiriah (seperti masjid, candi, gereja,
tangkal, azimat). Agama memiliki dua fungsi penting; yakni fungsi psikologis
dan fungsi sosial.
1.
Fungsi Psikologis
Orang meyakini dan mengamalkan ajaran agama
kebanyakan untuk meraih ketenteraman. Agama bisa memberi ketenangan dan
mengurangi kegelisahan karena percaya ada bantuan supranatural yang dapat
diharapkan saat terjadi bencana. Orang yang baru saja terkena musibah gempa
bumi, akan merasa tenang apabila ingat dengan Tuhan atau kekuatan supranatural
yang ada di atasnya.
Selain itu, agama juga bisa memberi tuntunan
melalui penggambaran atau cerita makhluk supranatural.
2.
Fungsi Sosial
Fungsi lain dari agama antara lain memberi
sanksi kepada sejumlah besar tata kelakuan, pemeliharaan solidaritas sosial,
pendidikan, dan tertib sosial. Dengan rajin menjalankan perintah ajaran agama,
maka akan terbentuk sikap dislipin dan ketaatan. Orang yang taat menjalankan
perintah agama akan memiliki perilaku yang terpuji dan mampu membangun
kebersamaan dengan manusia yang lain.
BAB
IV
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berbagai upacara keagamaan atau perayaan agama sebagai salah
satu bentuk bahwa kita sebagai manusia yang beragama harus menjalankan
kewajibannya sebagai manusia yang taat beragama. Agama berkaitan dengan
usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri
dan keberadaan alam semesta. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang
paling sempurna dan juga perasaan takut. Agama memberi lambang-lambang kepada
manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal
yang susah diungkapkan.
3.2
Saran
Banyaknya ragam agama kita sebaiknya
saling menghargai kepercayaan masing – masing. Dan tidak menimbulkan kericuhan
karena raga
DAFTAR
PUSTAKA
Dyastriningrum. 2009.
Antropologi : Kelas XII : Untuk SMA dan MA Program Bahasa. Pusat Perbukuan
Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional,Jakarta.p.90.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, Jakarta.
Supriyanto. 2009. Antropologi Kontekstual : Untuk SMA dan MA Program Bahasa Kelas XII. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional,Jakarta. p. 240.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, Jakarta.
Supriyanto. 2009. Antropologi Kontekstual : Untuk SMA dan MA Program Bahasa Kelas XII. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional,Jakarta. p. 240.
Posting Komentar