MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
SISTEM
EKONOMI INDONESIA
“MASALAH
INDUSTRIALISASI”
PROGRAM
STUDI : ILMU ADMINISTRASI BISNIS S1
DI
SUSUN OLEH
KELOMPOK
5
AIDA NOVITA
|
1610069632110
|
GERY JULIANDRI
|
1610069632110
|
JULIA NINGSIH
|
1610069632110
|
KURNIATI
|
1610069632110
|
MUHAMAD NUR ROHMADI
|
161006963211035
|
JULIA NINGSIH
|
1610069632110
|
SANDY HANEL MARDA PUTRA
|
1610069632110
|
YAYASAN
SETIH SETIO
SEKOLAH
TINGGI ILMU ADMINISTRASI (STIA)
SETIH
SETIO MUARA BUNGO
TA
2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Di dalam makalah yang berjudul “MASALAH INDUSTRIALISASI” ini akan membahas mengenai
berbagai masalah Industrialisasi di Indonesia.
Terima kasih kami sampaikan kepada
Bapak Syah Amin Albadri yang telah
mengarahkan penulis dalam penyusunan makalah melalui penyampaian materi tentang
Sistem Ekonomi Indonesia.
Dalam penyusunan makalah ini tak
luput dari kesalahan,untuk itu penulis mohon maaf atas kesalahan dalam
penyusunan makalah ini dan demi menghasilkan makalah yang lebih baik, penulis
mengharapakan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua,dalam mempelajari perkembangan demokrasi di
Indonesia.
Muara
Bungo 08 November 2017
Mengetahui
PENYUSUN
DAFTAR ISI
COVER........................................................................................................
KATA
PENGANTAR................................................................................ I
DAFTAR
ISI................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang.........................................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah....................................................................................
2
1.3 Tujuan......................................................................................................
2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Sektor Industri Indonesia...........................................................
3
2.2 Masalah
Keterbelakangan Industrialisasi di Indonesia............................
4
2.3 Kebijakan
Industrialisasi..........................................................................
5
2.4 Peranan
Sektor Industri Dalam Pembangunan........................................
8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..............................................................................................
13
3.2 Saran........................................................................................................
13
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industrialisasi adalah suatu
proses perubahan social ekonomi yang mengubah sistem pencaharian masyarakat
agraris menjadi masyarakat industry.
Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan di
mana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin
beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi.
Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi di mana
perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi.
Dalam Industrialisasi ada perubahan filosofi manusia di mana
manusia mengubah pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih kepada
rasionalitas (tindakan didasarkan atas pertimbangan, efisiensi, dan perhitungan, tidak lagi mengacu
kepada moral, emosi, kebiasaan atau tradisi).
Menurut para peniliti ada faktor yang menjadi acuan
modernisasi industri dan pengembangan perusahaan. Mulai dari lingkungan politik
dan hokum yang menguntungkan untuk dunia industri dan perdagangan bisa juga
dengan sumber daya alam yang beragam dan melimpah, dan juga sumber daya manusia
yang cenderung rendah biaya memiliki kemampuan dan bisa beradaptasi dengan
pekerjaannya.
Industrialisasi di Indonesia semakin menurun semenjak krisis
ekonomi tahun 1998. Kemunduran ini bukanlah berarti Indonesia tidak memiliki
modal untuk melakukan investasi pada industri dalam negeri, tetapi lebih kepada
penyerapan barang hasil produksi industri dalam negeri.
Membuka pasar dalam negeri adalah kunci penting bagi industri
Indonesia untuk bisa bangkit lagi karena saat ini pasar Indonesia dikuasai oleh
produk produk asing.
1.2 Rumusan Masalah
1. Sejarah Sektor Industri Indonesia
2. Masalah Keterbelakangan Industrialisasi di Indonesia
3. Kebijakan Industrialisasi
4. Peranan Sektor Industri Dalam Pembangunan
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui Sejarah
Sektor Industri Indonesia
2.
Menemukan Masalah
Terkait Keterbelakangan Industrialisasi Indonesia
3.
Memahai
Kebijakan-Kebijakan Industrialisasi
Memahami Peran Sector
Industry Dalam Pembangunan
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Sektor Industri Indonesia
Pada
tahun 1920-an industri modern di Indonesia semuanya dimiliki oleh orang asing,
walau jumlahnya hanya sedikit. Indutri kecil yang ada pada masa itu berupa
industri rumah tangga seperti penggilingan padi, pembuatan gula merah (tebu dan
nira), rokok kretek, kerajinan tekstil dan sebagainya tidak terkoordinasi
dengan baik.
Perusahaan
modern pada saat hanya ada dua, yaitu pabrik rokok milik British American
Tobaco (BAT) dan perakitan kendaraan bermotor General Motor Car Assembly.
Depresi ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1930an meruntuhkan perekonomian,
megakibatkan menurunnya penerimaan ekspor dari 1.448 gulden menjadi 505 gulden
(1929) yang mengakibatkan pengangguran. Melihat situasi tersebut pemerintah
Hindia Belanda mengubah system dan pola kebijakan ekonomi dari sektor
perkebunan ke sektor industri, dengan memberi kemudahan dalam pemberian ijin
dan fasilitas bagi pendirian industri baru. Berdasarkan Sensus Industri Pertama
(1939), industri yang ada ketika itu mempekerjakan 173 ribu orang di bidang
pengolahan makanan, tekstil dan barang logam, semuanya milik asing.
Pada
masa perang dunia II kondisi industrialisasi cukup baik. Namun setelah
pendudukan Jepang keadaannya terbalik. Disebabkan larangan impor bahan mentah
dan diangkutnya barang kapital ke Jepang dan pemaksaan tenaga kerja (romusha)
sehingga investasi negara asing nihil. Setelah Indonesia merdeka, mulai
dikembangkan sektor industri dan menawarkan investasi walau dalam tahap
percobaan. Tahun 1951, pemerintah meluncurkan RUP (Rencana Urgensi
Perekonomian). Program utamanya menumbuhkan dan mendorong industri kecil
pribumi dan memberlakukan pembatasan industri besar atau modern yang dimiliki
orang Eropa dan Cina.
Pada
tahun 1957 sektor industri mengalami stagnasi dan perekonomian mengalami masa
teduh, pada tahun 1960-an sektor industri tidak berkembang. Akibat karena
situasi polotik yang bergejolak, juga disebabkan kurangnya
modal dan tenaga ahli
yang terampil. Pemberlakuan dua undang-undang baru, PMA tahun 1967 dan PMDN
tahun 1968 ternyata mampu membangkitkan gairah sektor industri.
Perkembang
sektor industri sejak orde baru, atau tepatnya semasa pembangunan jangka
panjang tahap pertama, sangat mengesankan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai
ukuran perbandingan seperti jumlah unit usaha atau perusahaan, jumlah tenaga
kerja yang diserap, nilai keluaran (output) yang dihasilkan, sumbangan dalam
perolehan devisa, kontribusi dalam pembentukan pendapatan nasional, serta
tingkat pertumbuhannya.
2.2 Masalah Keterbelakangan
Industrialisasi di Indonesia
Dari
jumlah penduduk Indonesia termasuk negara sedang berkembang terbesar k-3
setelah india dan cina. Namun diluar dari segi industrialisasi, Indonesia dapat
dikatakan baru mulai salah satu indikator dari tingkat industrialisasi adalah
sumbangan sektor industri dalam GDP (groos domestic product). Dari ukuran
ini sektor industri di Indonesia sangat ketinggalan dibandingkan dari
negara-negara utama di asia. Dua ukuran lain adalah besar nya nilai tambah yang
di hasilkan sektor industri dan nilai tambah perkapita.
Dari segi ukuran mutlak sektor industri di
Indonesia masih sangat kecil, bahkan kalah dengan negara-negara kecil seperti
Singapura, Hongkong dan Taiwan. Secara perkapita nilai tambah sektor industri
di Indonesia termasuk yang paling rendah di asia. Indikator lain tingkat
industrialisasi adalah produksi listrik perkapita dan prosentasi produksi
listrik yang digunakan oleh sektor industri. Di Indonesia produksi listrik
perkapita sangat rendah, dan dari tingkat yang rendah ini hanya sebagian kecil
yang di gunakan oleh konsumen industri.
Keadaan sektor industri selama tahun
1950-an dan 1960-an pada umumnya tidak menggembirakan karena iklim politik pada
waktu yang tidak menentu. Kebijakan perindustrian selama awal tahun 1960-an
mencerminkan filsafat proteksionalisme dan eatisme yang ekstrim, dengan akibat
kemacetan produksi. Sehingga produksi sektor industri praktis tidak berkembang
(stagnasi). Selain itu juga disebabkan karena kelangkaan modal dan tenaga kerja
ahli yang memadai.
Faktor-Faktor
yang dapat menghambat perkembangan perindustrian adalah:
1.
Keterbatasan teknologi
Kurangnya
perluasan dan penelitian dalam bidang teknologi menghambat efektivitas dan
kemampuan produksi.
2.
Kualitas sumber daya manusia
Terbatasnya
tenaga profesional di Indonesia menjadi penghambat untuk mendapatkan dan
mengoperasikan alat alat dengan teknologi terbaru.
3.
Keterbatasan dana pemerintah
Terbatasnya
dana pengembangan teknologi oleh pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur
dalam bidang riset dan teknologi.
Industrialisai di Indonesia mengalami
kemunduran mulai dari semenjak krisis ekonomi terjadi di tahun 1998, hal ini
terjadi karna suhu politik yang tidak stabil pada saat itu. Akan tetapi
kemunduran ini bukanlah berarti Indonesia tidak memiliki modal untuk melakukan
investasi pada industri dalam negeri, tetapi indonesia lebih memfokuskan kepada
penyerapan barang hasil produksi industri dalam negeri. Membuka pasar dalam
negeri adalah kunci penting bagi industri Indonesia untuk bisa bangkit lagi
karena saat ini pasar Indonesia dikuasai oleh produk produk luar.
2.3 Kebijakan
Industrialisasi
Kebijakan
adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini
dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta,
individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum.
` Jika
hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hokum yang
mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi
tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.
Kebijakan
atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan
keputusan-keputusan pentingnya organisasi, termasuk identifikasi
berbagai alternatif seperti
prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan dampaknya.
Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis , menejeman ,
finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit.
Pemerintahan orde
baru melakukan perubahan-perubahan besar dalam kebijakan perindustrian. Ada
tiga aspek kebijakan ekonomi orde baru yang menumbuhkan iklim lebih baik bagi
pertumbuhan sektor industri. Ketiga aspek tersebut adalah:
- Dirombaknya sistem devisa. Sehingga transaksi luar
negeri menjadi lebih bebas dan lebih sederhana.
- Dikuranginya fasilitas-fasilitas khusus yang hanya disediakan
bagi perusahaan Negara, dan kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong
pertumbuhan sektor swasta bersama-sama dengan sektor BUMN.
- Diberlakukannya undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA).
Dalam implementasinya ada empat
argumentasi basis teori yang melandasi suatu kebijakan industrialisasi, yaitu :
1. Keunggulan komperatif
Negara-negara
yang menganut basis teori keunggulan komperatif (comparative advantage) akan
mengembangkan sub sektor atau jenis-jenis industri yang memiliki keunggulan
komparatif baginya.
2. Keterkaitan industrial
Negara-negara
yang bertolak dari keterkaitan industrial (industrial linkage) akan lebih
mengutamakan pengembangan bidang-bidang kegiatan atau sektor-sektor ekonomi
lain.
3. Penciptaan kesempatan kerja
Negara
yang industrialisasinya dilandasi argumentasi penciptaan lapangan kerja
(employment creator) niscaya akan lebih memprioritaskan pengembangan
industri-industri yang paling banyak tenaga kerja. Jenis industri yang
dimajukan bertumpu pada industri-industri padat karya dan indsutri-industri
kecil.
4.
Loncatan
teknologi
Negara-Negara
yang menganut argumentasi loncatan teknologi (teknologi jump) percaya bahwa
industri-industri yang menggunakan tehnologi tinggi (hitech) akan memberikan
nilai tambah yang sangat baik, diiringi dengan kemajuan bagi teknologi bagi
industri-industri dan sektor lain.
Sebagai negara industri maju baru,
sektor industri Indonesia harus mampu memenuhi beberapa kriteria dasar antara
lain:
1) Memiliki peranan dan kontribusi
tinggi bagi perekonomian Nasional,
2) IKM memiliki kemampuan yang seimbang
dengan Industri Besar,
3) Memiliki struktur industri yang kuat
(Pohon Industri lengkap dan dalam),
4) Teknologi maju telah menjadi ujung
tombak pengembangan dan penciptaan pasar,
5) Telah memiliki jasa industri yang
tangguh yang menjadi penunjang daya saing internasional industri, dan
6) Telah memiliki daya saing yang mampu
menghadapi liberalisasi penuh dengan negara-negara APEC.
Diharapkan tahun 2020 kontribusi
industri non-migas terhadap PDB telah mampu mencapai 30%, dimana kontribusi
industri kecil (IK) ditambah industri menengah (IM) sama atau mendekati
kontribusi industri besar (IB). Selama kurun waktu 2010 s.d 2020 industri harus
tumbuh rata-rata 9,43% dengan pertumbuhan IK, IM, dan IB masing-masing minimal
sebesar 10,00%, 17,47%, dan 6,34%.
Untuk mewujudkan target-target
tersebut, diperlukan upaya-upaya terstruktur dan terukur, yang harus dijabarkan
ke dalam peta strategi yang mengakomodasi keinginan pemangku kepentingan
berupa strategic outcomes yang terdiri dari:
1) Meningkatnya nilai tambah industri,
2) Meningkatnya penguasaan pasar dalam
dan luar negeri,
3) Kokohnya faktor-faktor penunjang
pengembangan industri,
4) Meningkatnya kemampuan inovasi dan
penguasaan teknologi industri yang hemat energi dan ramah lingkungan,
5) Menguat dan lengkapnya struktur
industri,
6)
Meningkatnya
persebaran pembangunan industri, serta
7) Meningkatnya peran industri kecil
dan menengah terhadap PDB.
Dalam rangka merealisasikan
target-target tersebut, Kementerian Perindustrian telah menetapkan dua
pendekatan guna membangun daya saing industri nasional yang tersinergi dan
terintegrasi antara pusat dan daerah. Pertama, melalui pendekatan top-down
dengan pengembangan 35 klaster industri prioritas yang direncanakan dari Pusat
dan diikuti oleh partisipasi daerah yang dipilih berdasarkan daya saing
internasional serta potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kedua, melalui
pendekatan bottom-up dengan penetapan kompetensi inti industri daerah yang
merupakan keunggulan daerah, dimana pusat turut membangun pengembangannya,
sehingga daerah memiliki daya saing. Pengembangan kompetensi inti di tingkat
provinsi disebut sebagai Industri Unggulan Provinsi dan di tingkat
kabupaten/kota disebut Kompetensi Inti Industri Kabupaten/Kota.
Pendekatan kedua ini merupakan
pendekatan yang didasarkan pada semangat Otonomi Daerah. Penentuan pengembangan
industri melalui penetapan klaster industri prioritas dan kompetensi inti
industri daerah sangat diperlukan guna memberi kepastian dan mendapat dukungan
dari seluruh sektor di bidang ekonomi termasuk dukungan perbankan.
2.4 Peranan Sektor Industri Dalam Pembangunan
Sektor industri merupakan sektor utama
dalam perekonomian Indonesia setelah sektor pertanian. Sektor ini sebagai
penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB (Produk domestic Burto) Indonesia
sampai tahun 1999. Bahkan sejak tahun 1991 peran sektor industri mampu menjadi
sektor utama dengan mengalahkan sektor pertanian.
Di Indonesia industri dibagi menjadi
empat kelompok, yaitu industri besar, industri sedang, industri kecil dan
industri rumah tangga. Pengelompokan ini didasarkan pada banyaknya tenaga kerja
yang terlibat didalamnya, tanpa memperhatikan industri yang digunakan.
Perindustrian di Indonesia telah
berkembang pesat. Namun perindustrian yang telah maju tersebut tampaknya malah
menjadi malapetaka bagi sektor pertanian. Dengan semakin banyaknya pabrik yang
berdiri di setiap daerah
bahkan
daerah pedesaan telah menggusur lahan-lahan pertanian produktif yang jika tetap
digunakan dapat menghasilkan komoditas pertanian yang unggul.
Selain itu hujan asam yang timbul akibat
adanya pencemaran dari gas-gas beracun yang tersebar di udara oleh
pabrik-pabrik tersebut dapat merusak tanaman dan tanah sehingga hasil yang
didapat sangat tidak bagus bahkan kurang baik jika dikonsumsi oleh manusia.
Sesuai dengan data EPS (Encapsulated
Postscript) yang diolah Kementerian Perindustrian pada triwulan III
2012 misalnya, sektor ini menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu
sebesar 7,3% yoy (year on year). Walaupun industri migas mengalami kontraksi
sekitar 5%, namun tingginya pertumbuhan Industri Pengolahan Non Migas
mengakibatkan Sektor Industri Pengolahan mengalami pertumbuhan sebesar 6,4%
yoy.
Sebagaimana disampaikan
Menteri Perindustrian M S Hidayat dalam paparan akhir tahun 2012 lalu,
pertumbuhan sebesar 6,4% tersebut Sektor Industri Pengolahan menjadi motor
pertumbuhan utama dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi terbesar pada triwulan
III 2012.
Meskipun ketidakpastian
perekonomian dunia masih terus berlangsung, namun kondisi perekonomian
Indonesia tetap berjalan dengan pertumbuhan yang cukup tinggi. Pada triwulan
III 2012 pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 6,2% (yoy), dan merupakan
pertumbuhan tertinggi kedua di Asia setelah China, dan ke-5 tertinggi di dunia.
Dari pertumbuhan
ekonomi nasional sebesar 6,2% itu, Sektor Industri Pengolahan menyumbang
pertumbuhan sebesar 1,62%. Kemudian diikuti oleh Sektor Perdagang'an, Hotel,
dan Restoran yang menyumbang sebesar 1,22% dan Sektor Pengangkutan dan
Komunikasi menyumbang sebesar 1,02%. Sedangkan kontribusi sektor-sektor lainnya
di bawah 1%.
Dicapainya pertumbuhan
Industri Non Migas sebesar 7,3% pada triwulan III 2012, tidak saja lebih tinggi
dari pertumbuhan triwulan II 2012 sebesar 6,1%, tetapi juga lebih tinggi dari
pertumbuhan triwulan III tahun 2011 yang mencapai 7,2% (yoy). Dengan
pertqmbuhan sebesar 7,3% tersebut, fnaka pertumbuhan Industri Npn Migas kembali
lebih tinggi dari pertumbuhan
ekonomi nasibnal. Dan dengan pertumbuhan tersebut, maka
secara kumulatif hingga triwulan III tahun 2012, pertumbuhan Industri Non Migas
mencapai sebesar 6,5%.
Pertumbuhan industri
tersebut didukung oleh tingginya tingkat konsumsi masyarakat, dan meningkatnya
investasi di sektor industri secara sangat signifikan sehingga menyebabkan
tetap terjaganya kinerja sektor industri manufaktur hingga saat ini. Beberapa
investasi yang menonjol pada Januari-September 2012 nilai investasi PMA pada
Industri Non Migas mencapai sekitar US$ 8,6 milyar, atau meningkat 65,9%
terhadap nilai investasi pada periode yang sama tahun 2011.
Sementara nilai investasi
PMDN pada Januari-September 2012 mencapai Rp 38,1 triliun, atau meningkat
sebesar 40,19% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Dicapainya pertumbuhan
industri non migas sebesar 6,5% hingga triwulan III 2012 didukung oleh kinerja
pertumbuhan sebagian besar kelompok Industri Non Migas, yang mengalami
pertumbuhan cukup tinggi.
Pertumbuhan tertinggi
dicapai kelompok Industri Pupuk, Kimia & Barang dari karet sebesar 8,91%.
Kemudian diikuti kelompok Industri Semen dan Barang Galian Bukan Logam sebesar
8,75%. Kelompok Industri Makanan, Minuman dan Tembakau, di ururutan berikutnya
dengan pertumbuhan 8,22%, dan kelompok Industri Alat Angkut, Mesin dan
Peralatannya sebesar 7,52%.
Urutan berikutnya
kelompok Industri Logam Dasar Besi dan Baja yang tumbuh sebesar 5,70%, dan
kelompok Industri Tekstil, Barang Kulit & Alas Kaki sebesar 3,64%.
Hasil-hasil yang dicapai tidak terlepas dari kebijakan dan upaya yang telah
dilakukan oleh Pemerintah serta didukung oleh para pelaku usaha dan masyarakat
dalam rangka pengembangan dan peningkatan daya saing industri nasional.
Program dan upaya yang
dilakukan pemerintah dalam pengembangan industri yang menjadi tumpuan
pertumbuhan ekonomi nasional menjadi program prioritas yaitu:
1)
Program Hilirisasi
Industri Berbasis Agro, Migas, dan Bahan Tambang Mineral.
2)
Program Peningkatan
Daya Saing Industri Berbasis SDM, Pasar Domestik, dan Ekspor.
3)
Program Pengembangan
Industri Kecil dan Menengah dan lain sebagainya.
Tantangan dan peluang
industri tahun 2013 masih sangat tergantung pada kondisi perekonomian Amerika
Serikat dan Uni Eropa yang masih diwarnai ketidakpastian. Hal ini tentu
menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan. Akan tetapi, dengan terus membaiknya
kinerja sektor industri non migas dan pesatnya peningkatan investasi di sektor
ini, maka pada tahun 2013 pertumbuhan indutri non migas diperkirakan bisa
mencapai sedikitnya 6,8%.
Bahkan jika upaya-upaya
maksimal bisa dilakukan, industri non migas diperkirakan bisa tumbuh sekitar
7,1%, dimana dalam hal ini Industri Pupuk, Kimia & Barang dari karet,
Industri Semen & Barang Galian bukan logam; Industri Makanan & Minuman,
dan Industri Otomotif diharapkan bisa menjadi motor pertumbuhan industri
manufaktur.
Apabila berbagai
permasalahan yang menghambat pertumbuhan sektor industri seperti penyediaan
infrastuktur, ketersediaan gas, listrik dan iklim investasi yang kondusif dapat
ditemukan solusinya, maka sektor industri di yakini dapat berperan lebih besar
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan pertumbuhan
industri non migas tersebut, maka pertumbuhan sektor industri pengolahan secara
keseluruhan diperkirakan bisa mencapai 6,2 - 6,5% pada tahun 2013 dan
pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan bisa mencapai 6,2 - 6,7%.
PDB riil Indonesia meningkat sebesar 5,0
persen tahun-ke-tahun (yoy) di Triwulan ke-2 tahun 2017, tidak berubah dari
Triwulan ke-1. Tingkat pertumbuhan telah stabil sebesar sekitar 5 persen sejak
Triwulan ke-1 tahun 2014, lebih rendah dari yang tercatat pada awal dekade ini.
Fundamental ekonomi makro Indonesia baik dan
telah meningkat, karena Pemerintah terus menerapkan reformasi struktural yang
penting.
Pertumbuhan investasi naik ke tingkat
tertinggi sejak Triwulan ke-4 tahun 2015, didorong oleh investasi di sektor
bangunan gedung dan struktur.
Secara tidak terduga, pertumbuhan konsumsi
swasta tetap sama di Triwulan ke-2. Momentum yang stabil dalam konsumsi swasta,
yang mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia, berlawanan dengan beberapa
faktor pendorong yang menguntungkan: pertumbuhan lapangan kerja yang tinggi,
kenaikan gaji sebanyak dua digit, serta beralihnya periode Idul Fitri ke
Triwulan ke-2 tahun ini.
Tidak adanya peningkatan pertumbuhan di
Triwulan ke-2, terutama konsumsi sektor swata, adalah teka-teki yang memerlukan
data dan analisis lebih lanjut. Salah satu kemungkinannya adalah perekonomian
sedang menyesuaikan diri dengan reformasi baru-baru ini, sementara dampak
pertumbuhan membutuhkan waktu untuk terealisasi.
Konsumsi pemerintah mengalami kontraksi dari
tahun sebelumnya, sebagian mencerminkan dampak dasar (base effect) dari
peningkatan belanja barang yang besar di Triwulan ke- 2 tahun lalu, ditambah
dengan adanya hari kerja yang lebih sedikit di Triwulan ke-2 tahun ini.
Setelah mengalami lonjakan pada Triwulan
ke-1, pertumbuhan ekspor dan impor secara signifikan melambat. Hal ini
mencerminkan secara sebagian penurunan harga komoditas pada Triwulan ke-2 dan
hari kerja yang lebih sedikit karena libur Lebaran.
Ekonomi Indonesia Triwulan
III-2017 Tumbuh 5,06 Persen
Indonesia
berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku
triwulan III- 2017 mencapai Rp3.502,3 triliun dan atas dasar harga konstan 2010
mencapai Rp2.551,5 triliun.
Ekonomi
Indonesia triwulan III-2017 terhadap triwulan III-2016 (y-on-y) tumbuh 5,06
persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh semua lapangan usaha,
dengan pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha Jasa Lainnya sebesar 9,45
persen. Dari sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen
Ekspor Barang dan Jasa sebesar 17,27 persen.
Ekonomi
Indonesia triwulan III-2017 terhadap triwulan sebelumnya (q-to-q) tumbuh 3,18
persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha
Pengadaan Listrik dan Gas sebesar 5,32 persen, sedangkan
dari sisi Pengeluaran pada
Komponen Ekspor Barang dan Jasa sebesar 9,07 persen.
Ekonomi
Indonesia sampai dengan triwulan III-2017 (c-to-c) tumbuh 5,03 persen. Dari
sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh semua lapangan usaha, dimana
pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha Informasi dan Komunikasi sebesar
9,80 persen. Sedangkan dari sisi pengeluaran terutama didorong oleh Komponen
Ekspor Barang dan Jasa yang tumbuh 9,79 persen.
Struktur
ekonomi Indonesia secara spasial pada triwulan III- 2017 didominasi oleh
kelompok provinsi di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan. Pulau
Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto, yakni
sebesar 58,51 persen, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,54 persen, dan
Pulau Kalimantan 8,10 persen.
Ekonomi Indonesia Triwulan
II-2017
- Perekonomian Indonesia
berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga
berlaku triwulan
I-2017 mencapai Rp3.227,2 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.377,5 triliun.
- Ekonomi Indonesia triwulan I-2017 terhadap
triwulan I-2016 tumbuh 5,01 persen (y-on-y) meningkat
dibanding capaian triwulan I-2016 sebesar 4,92 persen. Dari
sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Lapangan Usaha Informasi
dan Komunikasi sebesar 9,10 persen. Dari
sisi Pengeluaran dicapai oleh Komponen
Ekspor Barang dan Jasayang tumbuh 8,04 persen.
- Ekonomi Indonesia triwulan I-2017 terhadap
triwulan sebelumnya turun sebesar 0,34 persen (q-to-q). Dari sisi
produksi, penurunan disebabkan oleh kontraksi yang terjadi pada beberapa
lapangan usaha. Sedangkan dari sisiPengeluaran disebabkan oleh kontraksi pada Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
(minus 45,54 persen) danPembentukan Modal Tetap Bruto (minus 5,42 persen).
- Struktur ekonomi
Indonesia secara spasial pada triwulan I-2017 didominasi oleh kelompok
provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kelompok provinsi di Pulau Jawa
memberikan kontribusi terbesar
Terhadap PDB Indonesia, yakni sebesar 58,49 persen, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,95 persen, dan Pulau
Kalimantan sebesar 8,33 persen.
Sementara pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Pulau Sulawesi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Industri adalah
kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi
atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam penggunaannya,
termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.
Di Indonesia
industri masih sangat ketertinggalan dari negara-negara lainnya, bahkan kalah
dengan industri negara yang kecil, padahal d Indonesia potensi untuk di
adakannya perindustrian itu sangat bagus. Namun ada bebarapa faktor yang
mempengaruhinya seperti kurangnya SDM, kurangnya teknologi dan pendanaan dari
pemerintah. Pada saat sekarang ini, industri di Indonesia mengalami kemajuan
banyak industri-industri kecil yang muncul.
Akan tetapi, hal
ini kurang tepat, karena menimbulkan beberapa dampak yang tidak baik, karena
industri-industri di Indonesia tidak memperhatikam permasalah lingkungan
terutama permasalahan limbah yang tidak terorganisir secara baik. Meskipun
dalam upaya yang dilakukan oleh bangsa ini, supaya perindustrian di
Indonesia tidak tertinggal telah dibuat kebijakan tentang perindustrian namun
pada kenyataannya kebijakan itu belum sepenuhnya efektif.
3.2 Saran
Saran
yang dapat kami berikan adalah supaya pemerintah lebih memperhatikan
permasalahan dalam perindustrian ini baik dalam segi modal ataupun memikirkan
bagaimana cara supaya limbah perindustrian tidak mencemari lingkungan. Dan
industri yang ada dapat dikelola sesuai dengan kebijakan yang dilaksanakan.
DAFTAR
PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Industrialisasi#cite_note-autogenerated1-1
(Diakses pada 5 november 2017)
https://reszajulianisha.wordpress.com/2016/06/23/perekonomian-indonesia-industri-dan-industrialisasi/
(Diakses pada 5 november 2017)
http://ilmuteknologyindustri.blogspot.com/2016/10/sejarah-industri-di-indonesia.html
(Diakses pada 5 november 2017)
http://www.kemenperin.go.id/artikel/5422/Peran-Sektor-Industri-dalam-Mendorong-Pertumbuhan-Ekonomi-Nasional
(Diakses pada 5 november 2017)
http://www.kemenperin.go.id/artikel/19/Kebijakan-Industri-Nasional
(Diakses pada 5 november 2017)
http://www.worldbank.org/in/country/indonesia/publication/indonesia-economic-quarterly-october-2017 (Diakses pada 5 november 2017)
Posting Komentar